Kamis, 11 Maret 2010

26 NEGARA BAHAS PERUBAHAN IKLIM


DENPASAR (SI)– Pakar teknologi dari 26 negara Asia Pasifik bertemu di Bali untuk membicarakan pentingnya teknologi dalam mengantisipasi perubahan iklim.

Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) Suharna Surapranata kepada para peserta yang tergabung dalam Group on Earth Observation menyatakan, Indonesia melalui Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) selama ini aktif memantau hutan dan perubahannya dengan menyediakan data satelit,keahlian,maupun infrastruktur terkait.“Ini menunjukkan bukti kepada dunia dalam memenuhi tekad pengurangan emisi karbon melalui pemantauan bumi Indonesia,”katanya di Sanur, Bali,kemarin.

Saat ini, kata Suharna, Indonesia melalui kerja sama dengan Australia telah mampu mendeteksi titik api atau hotspot melalui satelit penginderaan jarak jauh, terutama untuk kebakaran di kawasan hutan Sumatera dan Kalimantan. Tahun ini kerja sama itu dikembangkan di dua pulau lainnya,yakni Sulawesi dan Papua. Kerja sama secara lebih spesifik dilakukan untuk memantau hutan dan perubahannya, termasuk di dalamnya untuk mendeteksi aktivitas deforestasi maupun degradasi hutan. Dengan teknologi itu, Indonesia bertekad mampu menurunkan jumlah hotspot kebakaran hutan dan lahan sebesar 20% per tahun.

“Ingat, banyaknya hotspot makin meningkatkan karbon,”imbuh Suhama. Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim Rahmat Witoelar menyatakan, peran teknologi bisa mendukung target penurunan karbon hingga 2,95 gigaton pada 10 tahun ke depan.Dengansatelitpenginderaan jarak jauh misalnya,data mengenai hotspot di hutan dalam satu jam kemudian bisa segera diakses. Rahmat mengakui bahwa program Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD) masih kurang berhasil karena masyarakat belum menyadari arti penting hutan.

Selain itu, tekanan dari pihak yang memiliki kepentingan untuk menjadikan hutan sebagai lahan perkebunan sangat tinggi.“Kami sudah minta pemerintah bersikap tegas melarang pembukaan hutan untuk dijadikan lahan perkebunan. Lebih baik memanfaatkan lahan kritis,”ujarnya. Sekretaris Jenderal Group on Earth Observation Jose Achache dalam kesempatan sama menyatakan, perubahan iklim ditambah ledakan jumlah penduduk saat ini telah mengarah pada terancamnya masa depan lingkungan global. (miftachul chusna)