Jumat, 12 Maret 2010

PRODUK KOSMETIK 14 INDUSTRI DIRAGUKAN


MEDAN(SI) – Sebanyak 14 industri kosmetik di Sumut belum lolos cara produksi kosmetik yang benar (CPKB).Akibatnya, selain bisa membahayakan konsumen, produk kosmetik itu tidak dapat diterima di pasaran ASEAN.

Balai Besar Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Medan mencatat, saat ini baru empat industri kosmetik di Sumut bersertifikasi CPKB dari 18 industri yang ada saat ini.Di antara jumlah itu,dua industri dalam pembinaan guna memperoleh sertifikasi itu, sedangkan sisanya masih butuh proses panjang.

”Kami menargetkan, hingga akhir tahun ini,semua perusahaan kosmetik itu sudah harus mendapatkan sertifikasi CPKB,”ujar Kepala BPOM Medan Agus Prabowo kemarin. Hal itu disampaikannya saat menyampaikan paparan bertajuk Perlindungan Kepada Masyarakat tentang Makanan dan Kosmetika yang Berkaitan dengan Kehalalan, Kedaluwarsa, dan Pemberdayaan terhadap Usaha Kecil Menengah (UKM) di Dinas Komunikasi dan Informasi Sumut.

Turut hadir dalam acara itu Kepala Dinas Kominfo Eddy Syofian,peneliti LPPOM MUI Sumut Bismar, Ketua YLKI Sumut Abubakar Sidik, dan para ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Agus menambahkan, sertifikasi itu sangat penting guna menjamin proses produksi memenuhi standar serta tidak merugikan masyarakat.

Sebab, jika tidak memenuhi standar CPKB itu,produk kosmetik Indonesia tidak bisa diterima di pasaran ASEAN terkait perdagangan bebas. Dari sisi kesehatan, tentu ada dampak negatif dari sebuah produk yang tidak memenuhi standar. Untuk itu, mereka selama ini sudah aktif mengawasi kalangan industri dengan dua cara,yaitu premarket dan postmarket. Premarket, yakni pengawasan intensif saat bahan produksi masuk ke industri sebelum dilempar ke pasar, sedangkan pengawasan postmarket dilakukan saat hasil produksi beredar di lingkungan masyarakat.

Pembinaan yang sama juga mereka lakukan terhadap perusahaan berbasis makanan. Namun, sejak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 8/2007 tentang Pengawasan Makanan,BPOM tidak lagi berwenang melakukan pengawasan. Sebab, PP ini menyatakan bahwa pemerintah daerahlah yang berhak melakukan hal tersebut.

”Kami hanya berperanan melakukan pembinaan terhadap District Food Inspektor (Pengawas Makanan Daerah) dari pemerintah daerah,” tuturnya. Begitupun, mereka sempat membina 742 perusahaan berbasis bahan pangan dan 115 perusahaan lainnya sebelum pemberlakuan PP itu pada 2008 lalu.

Ke depan, mereka berharap pengawasan dan pembinaan juga bisa merambah sampai ke kantinkantin yang ada di sekolah atau lembaga pendidikan guna memastikan makanan dan minuman yang dikonsumsi pelajar atau mahasiswa higienis dan aman dikonsumsi. Terkait pengawasan produk impor, Prabowo mengungkapkan,makanan yang baik dikonsumsi kalau sudah memiliki kode ML dan menggunakan petunjuk bahasa Indonesia.

Namun,untuk sertifikasi halal, hal itu menjadi kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menanggapi hal itu, peneliti LP-POM MUI Sumut Bismar menambahkan, MUI memang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sertifikasi halal.Namun,kewenangan itu ternyata tidak menjadi kewajiban bagi perusahaan makanan dan kosmetika untuk mematuhi.

”Undang-undang terkait hanya menyebutkan pelabelan sertifikasi halal dan bersifat imbauan,” ujarnya. Dari banyaknya industri makanan dan kosmetika, sejauh ini mereka baru mengeluarkan 298 sertifikat. Di antara jumlah itu, hanya 52% sertifikasi yang telah dikeluarkan masih aktif, sedangkan 48% lainnya tidak aktif sama sekali.

”Yang 48 % itu bisa saja karena perusahaan terkait sudah tutup atau sama sekali tidak ada niat memperpanjang sertifikasi halal yang telah melawati batas akhir,” paparnya. MUI memiliki program di masa depan agar pemerintah bisa mewajibkan setiap perusahaan makanan dan kosmetika mengurus sertifikasi halalnya.

Mereka juga ingin agar produsen minuman dan obatobatan juga menyertakan sertifikasi halal dalam setiap produknya. Bismar menyatakan, pemerintah tidak perlu bimbang dalam mewajibkan setiap industri makanan, minuman,kosmetika, dan obat untuk menyertakan sertifikasi halal untuk setiap produk.

Sebab, bila belajar dari Singapura yang hanya memiliki sedikit jumlah penduduk beragama Islam, pemerintah setempat justru mewajibkan setiap perusahaan untuk menggunakan label halal. ”Kenapa mereka berbuat seperti itu? Sebab, mereka sadar kalau setiap produk yang dapat sertifikasi halal bisa dijamin higienitasnya, sekaligus bisa dijadikan produk ekspor negara itu ke luar negeri. Inilah yang seharusnya bisa dicontoh oleh pemerintah kita,” tandasnya. (CR-01)