Rabu, 31 Maret 2010

TELEKOMUNIKASI: WASPADAI PROMOSI GRATIS


JAKARTA — Membanjirnya kembali promosi layanan pesan singkat atau SMS oleh sebagian besar operator telekomunikasi harus diwaspadai konsumen. Jika tidak waspada, konsumen malah terpacu untuk konsumtif menggunakan SMS dan terjebak strategi pemasaran operator.

Demikian dikatakan pengamat telekomunikasi, Moch S Hendrowijono, dan Sekretaris Jenderal Masyarakat Telematika Indonesia Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, Selasa (30/3/2010) di Jakarta, yang dihubungi secara terpisah.

"Katakanlah operator memberi gratis 50 SMS, biasanya konsumen mengirim SMS lebih dari jumlah itu tanpa disadari. Euforia inilah yang dimanfaatkan operator," kata Hendrowijono.

Selain itu, menurut Hendrowijono, batas waktu promosi sering tak diinformasikan dengan tegas sehingga pulsa tersedot tanpa disadari.

Bulan ini promosi gratis kembali "menggila", ditandai dengan iklan besar-besaran di media elektronik, media cetak, dan media luar ruang, setelah operator ramai-ramai mengingkari kesepakatan tak akan ada SMS gratis antaroperator.

Kesepakatan itu ditandatangani dalam pertemuan resmi yang difasilitasi Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) pada Februari 2010.

Namun, jika diamati, kini mulai dari Telkomsel, Excelcomindo (XL), hingga Axis kembali menawarkan promosi SMS gratis antaroperator. Jumlah SMS gratis yang ditawarkan mulai dari ratusan hingga ribuan SMS.

BRTI dilecehkan

Wigrantoro berpendapat, BRTI sudah dilecehkan dengan tak dipatuhinya kesepakatan dilarangnya SMS gratis antaroperator. "Harusnya BRTI dilengkapi dengan kewenangan lebih untuk mengatur kompetisi industri telekomunikasi," katanya.

Hendrowijono juga menyarankan agar BRTI ditingkatkan kapasitasnya. "Supaya lebih bergigi, alas hukum BRTI jangan lagi surat keputusan menteri, tetapi undang-undang atau setidaknya keputusan presiden," ujarnya.

Anggota BRTI, Iwan Krisnadi, membantah BRTI telah kehilangan "gigi". "Jika BRTI mau tegas, dapat saja langsung menetapkan tarif interkoneksi SMS. Tapi, kan, tidak boleh reaktif seperti itu, tarifnya harus dihitung dengan cermat," kata Iwan.

Dia juga berpendapat, operator pelanggar kesepakatan tak harus diberikan sanksi berat, seperti pencabutan izin usaha. "Jika izin dicabut, bagaimana dengan nasib pelanggan dari operator itu?" kata Iwan.

Iwan menegaskan, BRTI tak pernah berdiam diri dalam kondisi seperti ini. "Kami mengamati saja ketika operator melanggar kesepakatan mereka sendiri. Tapi, ketika pasar rusak (karena persaingan itu), BRTI akan turun tangan," ujarnya.

Iwan berpendapat, persoalan SMS gratis antaroperator hanyalah masalah rebutan pelanggan. (RYO/KPS)