Senin, 22 Maret 2010

Obyek Bersejarah Rusak, Situs-situs Tidak Diberi Penjelasan yang Memadai


Teks foto :
Salah satu bangunan cagar budaya yang berada di Jalan Balikota, Medan, Sumatera Utara, ini sampai sekarang masih difungsikan sebagai kantor pos, seperti yang terlihat pada Minggu (21/3). Banyak bangunan bersejarah di Sumatera Utara yang terbengkalai karena pemerintah tidak serius merawatnya.






Medan - Sumatera Utara menyimpan warisan kekayaan bersejarah yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi obyek wisata bersejarah. Namun, warisan-warisan itu merana karena tidak dikelola dengan baik dan bahkan dirusak.

Demikian antara lain yang mengemuka dalam diskusi bertajuk pengembangan pariwisata budaya Sumatera Utara di Universitas Negeri Medan, Sabtu (20/3). Diskusi tersebut menghadirkan arkeolog dari Inggris, Edward McKinnon, dan pengajar arkeologi dari Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Singapura, Lim Chen Sian. Hadir pula Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Ichwan Azhari dalam diskusi yang dimoderatori oleh budayawan Ben Pasaribu itu.

Azhari mencontohkan sebagian dari ratusan warisan sejarah di Sumatera Utara yang potensial untuk dijadikan obyek wisata sejarah, yakni situs Bukit Kerang di pantai timur Sumatera sebagai jejak kehidupan prasejarah dan situs Kota Kuno Barus di pantai barat Sumatera Utara. Selain itu, situs Kota China di utara Kota Medan; Kota Rentang di Hamparan Perak, Deli Serdang; Benteng Puteri Hijau; Candi Portibi; dan bangunan-bangunan peninggalan Belanda.

Replika peradaban Eropa tecermin dalam penyusunan Lapangan Merdeka dan bangunan- bangunan yang mengelilinginya. Di sana terdapat bangunan balai kota, gedung Bank Indonesia, Hotel de Boor, kantor pos, stasiun kereta api, dan kawasan perkantoran. ”Pohon-pohon trembesi yang mengelilingi Lapangan Merdeka itu didatangkan langsung dari Amerika Latin oleh Belanda dan kini usianya lebih dari 100 tahun. Jika dikelola dengan benar, itu akan mengundang decak kagum,” ujarnya.

Sayangnya, lanjutnya, situs- situs tersebut merana dan rusak akibat dari vandalisme. Benteng Puteri Hijau, misalnya, mulai diserbu oleh bangunan-bangunan perumahan. Situs Kota China juga terbengkalai dan keramiknya banyak yang dijual keluar negeri secara ilegal sebab di situs tersebut tidak ada penjagaan.

Menurut McKinnon, penyebab utama pembiaran situs-situs tersebut adalah ketidakjelasan kewenangan pengelolaan. Di Inggris, situs-situs bersejarah dikelola oleh English Heritage, sebuah lembaga nonpemerintah, tetapi bekerja atas dasar undang-undang yang disahkan oleh pemerintah. Lembaga ini memiliki kewenangan yang jelas mengenai pengelolaan dan perawatan situs. Mereka juga didanai secara memadai oleh pemerintah.

Ada juga lembaga The National Trust, yang dananya bersumber dari masyarakat. Anggota lembaga ini membayar iuran per bulan, sementara bagi non-anggota cukup membayar tiket saat memasuki wilayah obyek wisata tertentu.

Dana tersebut digunakan untuk kepentingan pengelolaan dan penjagaan situs-situs bersejarah, termasuk menjaga kebersihan situs.

Di Indonesia, terutama Sumatera Utara, belum ada lembaga-lembaga seperti itu.

”Situs-situs di Sumatera Utara sangat jorok. Banyak sampah plastik, botol tua, dan bangkai kucing,” papar arkeolog yang lebih dari 30 tahun memerhatikan situs-situs bersejarah di Indonesia ini.

Chen mengatakan, perlu kesadaran bersama untuk menjaga situs bersejarah tersebut. Pemerintah Singapura melibatkan para mahasiswa untuk terlibat dalam eskavasi atau menjadi guide bagi turis asing. Situs-situs bersejarah juga dimasukkan dalam buku-buku pelajaran di sekolah dasar.

McKinnon menambahkan, satu lagi kelemahan Indonesia ialah tidak adanya penjelasan yang memadai tentang situs-situs tersebut. Akibatnya, masyarakat tidak memahami arti situs itu. ”Banyak situs dirusak akibat ketidaktahuan masyarakat,” ujarnya.

Peneliti di Balai Arkeologi Medan, Ery Soedewo, mengungkapkan, minimnya referensi tertulis mengenai situs-situs penting di Sumatera Utara merupakan buah dari kerja antarinstansi yang tidak sinergis. Tiap-tiap instansi seolah berpikir dan bekerja sendiri-sendiri.

”Contohnya, kami pernah meneliti tentang Padang Lawas, tetapi hasilnya teronggok di perpustakaan karena tidak kunjung dibukukan. Instansi lain sepertinya sulit diajak kerja sama,” ujarnya. (MHF/kps)