Minggu, 14 Maret 2010

MENATA HIDUP SETELAH STROKE


Oleh: Lusiana Indriasari

Stroke kini menyerang orang-orang yang berusia produktif. Ketika serangan itu datang, mereka yang sebelumnya bisa aktif berkegiatan tiba-tiba seperti ”terpenjara” dalam tubuh yang tidak lagi bisa berfungsi normal. Butuh kesabaran dan tekad yang kuat untuk kembali menata hidup.

Terbangun dari mimpi panjangnya, Ade Baringin Nasution (49) mencoba untuk membuka matanya. Namun, ia tidak bisa. Berulang kali Ade berusaha, kelopak matanya tetap saja tidak bisa dibuka. Dengan penuh kesadaran, ayah dua anak itu lalu mencoba menggerakkan jarinya. Hasilnya sama saja, ia tetap tidak bisa bergerak.

Ade tidak tahu apa yang tengah terjadi pada dirinya. Kejadian terakhir yang ia ingat adalah, ia sedang mengikuti rapat di sebuah kantor pemerintahan di Padang, Sumatera Barat. Di tengah rapat, Ade tersinggung dengan perkataan rekan kerjanya dan kemarahannya memuncak.

Tidak berapa lama, Ade tumbang. Ia tidak sadarkan diri setelah mengeluh pusing sekali kepada salah seorang temannya. Ade dilarikan ke rumah sakit, dan menurut dokter, tekanan darahnya melonjak hingga 295/160. Tekanan yang terlalu tinggi itu menyebabkan pembuluh darah di batang otak Ade pecah. Ia mengalami koma. Peristiwa itu terjadi tahun 2007.

Stroke menyebabkan Ade koma selama 14 hari. Selama itu pula ia merasakan jiwanya terperangkap dalam tubuh yang ”mati”. ”Saya merasa seperti tidur panjang dan penuh mimpi. Kadang-kadang saya bangun dari tidur tetapi anggota tubuh saya tidak bisa bergerak,” kata Ade.

Saat terbangun, Ade berada pada kesadaran penuh. Ia bisa mendengar suara-suara orang yang dikenalnya. Ia mencoba berbicara kepada mereka, bahkan ia merasa sampai berteriak- teriak, tetapi tidak ada yang mendengar. ”Saya takut akan kematian ketika orang-orang melantunkan doa-doa di telinga saya,” kata Ade yang sempat frustrasi karena tubuhnya terbujur tanpa daya di tempat tidur.

Dalam kondisi koma, pikiran Ade juga masih terus berjalan. Ia teringat dengan kedua anaknya, Arvin (18) dan Nadya (17), yang masih membutuhkan biaya sekolah. Ade juga ingat bahwa dua hari lagi ia harus menemui klien untuk membicarakan bisnisnya di bidang interior.

Stroke juga melumpuhkan musisi Anton Issoedibyo (60). Pendiri Radio Geronimo di Yogyakarta ini pertama kali terkena stroke pada tahun 2004. Malam itu Anton yang masih berumur 54 tahun baru saja selesai menikmati udang rebus di daerah Kalimalang, Jakarta Timur. Pagi harinya, ketika bangun tidur, Anton merasa tubuh sebelah kanannya tidak bisa digerakkan lalu menyusul bagian tubuh sebelah kiri.

”Saya merasa tubuh sebelah kanan lumpuh, alis berkernyit dan mulut saya mencong. Tekanan darah saya saat diukur 250/185,” tutur Anton melalui surat elektronik yang ia kirimkan. Anton masih bisa berbicara, tetapi ia mengaku terkadang bicaranya kurang jelas sehingga ia lebih memilih berkomunikasi melalui surat elektronik di internet atau pesan singkat di telepon genggam.

Adaptasi

Stroke mengubah hidup seseorang secara drastis. Bagi mereka yang selamat, stroke menyimpan ”luka” yang sulit untuk dipulihkan. ”Luka” itu berupa cacat pada beberapa anggota tubuh sekaligus sebagai akibat dari otak yang cedera.

Dampak dari ”luka” itu adalah hilangnya kemandirian. Apa yang dulu bisa dilakukan sendiri, sekarang harus bergantung kepada orang lain. ”Hilangnya kemandirian membuat penderita stroke sering merasa frustrasi,” kata Dr Nizar Yamanie, ahli saraf di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Selain kemandirian, kesulitan untuk berkomunikasi juga membuat penderita stroke putus asa. Rahardi (45) yang pernah terkena stroke tiga tahun lalu sering membentur-benturkan kepalanya ke tembok karena putus asa. Pria yang tinggal di Cengkareng, Jakarta Barat, ini jengkel bila tidak ada orang yang mengerti dengan kata-kata yang dia ucapkan.

Di rumahnya Rahardi tinggal bersama istrinya, yang bekerja sebagai sekretaris sebuah perusahaan di Jakarta, bersama dua keponakan dan seorang pembantu rumah tangga. Karena bicaranya tidak lagi jelas, tidak semua orang bisa mengerti apa yang diucapkan Rahardi, kecuali sang istri. Padahal, sang istri sering kali bekerja sampai malam hari.

Kenyataan bahwa separuh tubuhnya tidak bisa digerakkan membuat Ade sempat merasa putus asa. Setelah sadar dari koma, bagian tubuh Ade sebelah kanan lumpuh total. Semula ia sama sekali tidak bisa bangun dan hanya berbaring saja di sofa ruang keluarga di rumahnya, Cinere, Jakarta Selatan.

”Saya merasa layu seperti tumbuhan kekurangan air. Hidup seperti tidak berguna lagi. Tetapi kemudian saya berpikir, tidak ada orang lain yang bisa menolong kecuali diri saya sendiri,” kata Ade. Tekad itu tertanam kuat di benak Ade. Sejak saat itu ia mulai berlatih menggerakkan tangan, bangkit dari tempat tidur, dan pelan-pelan meninggalkan kursi roda untuk belajar berjalan.

Berkegiatan

Berkat ketekunan berlatih, tangan dan kaki kanan Ade sudah bisa digerakkan meski masih kaku. Ia juga sudah mahir berjalan dan menyetir mobil sendiri untuk menjalani aktivitasnya, seperti rapat di kantornya di kawasan Serpong atau bergaul dengan teman-temannya. Ade bahkan sudah pergi ke luar kota untuk menangani proyek-proyeknya.

Anton perlahan juga menata hidupnya meski terkadang masih sulit menerima bahwa sebagian anggota tubuhnya tidak berfungsi dengan baik. Menurut Mima (35), istri Anton, setelah terkena stroke, suaminya lebih banyak menutup diri dari pergaulan. Ia lebih banyak berkomunikasi dengan teman-teman lamanya melalui surat elektronik dan jarang sekali mau bertatap langsung dengan mereka. ”Mas Anton masih merasa malu karena kondisi fisiknya tidak seperti dulu lagi,” kata Mima.

Agar hidupnya lebih berarti, Anton yang seniman dan juga seorang dokter ini memutuskan untuk membuka praktik lagi. Keinginan untuk berpraktik, kata Mima, justru didorong oleh pasien-pasien langganan Anton yang merasa kehilangan dengan sosok dokter yang cepat akrab ini.

Seminggu sekali, pada Rabu dari pukul 11.00-14.00, Anton berpraktik di kliniknya di Cilandak, Jakarta Selatan. Dengan kursi roda, Anton melayani pasien-pasiennya dengan dibantu tujuh asistennya. Satu asisten bertugas menerjemahkan kata-kata Anton, asisten lain membantu memberikan obat-obatan kepada pasien, dan dua asisten membantu pijat refleksi serta dua asisten yang membantu mengangkut bahan-bahan obat. Satu lagi asisten cadangan yang punya multitugas.(kp)