Kamis, 11 Maret 2010

Teroris Memanfaatkan Kelompok di Aceh


Jakarta - Kepala Desk Antiteror Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Ansyaad Mbai mengatakan, ada dukungan faktor sosiologis yang terpendam di Aceh yang membuat aliansi jaringan teroris membangun simpul di sana. Keterangan tersebut juga sesuai dengan penyelidikan tim polisi antiteror Polri.

”Ada kelompok yang tidak puas dengan kondisi politik lokal dan ini ditunggangi pemain lama dari jaringan teroris; walaupun GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang murni tetap menolak praktik terorisme karena kontraproduktif dengan dukungan internasional,” papar Ansyaad.

Dari total 17 orang (dua tewas) yang ditangkap di Aceh, beberapa di antaranya adalah warga asal Aceh yang diduga polisi merupakan anggota kelompok yang tidak puas dan berseberangan dengan pemerintahan lokal saat ini. Kelompok inilah yang beraliansi dengan sedikitnya empat elemen kelompok jaringan terorisme, termasuk Al-Jamaah Al-Islamiyah.

Elemen kelompok jaringan tersebut banyak dikendalikan para alumnus pelatihan militer di Mindanao, Filipina, dan mantan narapidana terorisme.

Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri mengatakan, salah satu warga asal Aceh yang berperan membuka simpul di Aceh adalah Yudi Zulfahri alias Bara (27). ”Ia direkrut pertama dan memfasilitasi kelompok ini (jaringan terorisme) masuk ke Aceh untuk latihan di sana,” ujarnya.

Selain Yudi, warga asal Aceh lainnya di antaranya adalah Masykur Rahmat bin Mahmud (21), Surya alias Abu Semak Belukar, Azam alias Imanudin, Iwan S Abdullah (tewas), dan Marzuki (tewas).

Sementara itu, selain 17 orang yang ditangkap di Aceh, polisi sejauh ini sudah menahan 9 orang. Mereka berasal dari Jakarta 2 orang; Pamulang, Tangerang Selatan, Banten (5 orang); dan Kabupaten Bogor (2 orang). Di Bogor, polisi menangkap Sofyan yang juga mengatur pemasokan senjata.

Di Pamulang, polisi menembak mati tiga orang, yakni Dulmatin, Hasan Nour (29), dan Ridwan (29). Hasan dan Ridwan adalah pengawal Dulmatin. Ketiganya tinggal di rumah mantri Fauzi Syarif, yang kini ditahan polisi. Sebelumnya, Dulmatin mengontrak rumah di RT 04 RW 004, Jalan Salak, Buaran, Pamulang, sejak 13 Mei 2009. Dulmatin keluar dari kontrakannya pada Minggu (21/2).

Kemarin, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Irwandi Yusuf serta perwakilan dari Polda Aceh dan Kodam Iskandar Muda bertemu dengan sejumlah pejabat Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, antara lain Ansyaad Mbai dan Deputi Bidang Keamanan Nasional Budi Utomo.

”Meskipun ada gerakan teroris di Aceh, sampai saat ini tidak ada investor yang menyatakan keluar dari Aceh. Saya harap itu tidak akan terjadi,” kata Irwandi.

Akses komunikasi kelompok bersenjata di kawasan hutan Provinsi NAD yang dinyatakan sebagai gerombolan teroris diperkirakan masih terbuka. Setidaknya daerah yang diduga sebagai tempat persembunyian mereka saat ini, kawasan hutan lereng Gunung Seulawah, relatif terjangkau sinyal telepon karena sejumlah menara BTS milik sejumlah penyedia layanan komunikasi tersebar di sana.

Penggunaan telepon di kawasan hutan masih memungkinkan karena terdapat lima menara BTS setinggi sekitar 100 meter di kawasan lereng Gunung Seulawah di Kabupaten Aceh Besar, belum lagi menara-menara yang lebih rendah yang tersebar di sejumlah titik.

Dari Sukoharjo, Istiada (40), istri Ammar Usman alias Dulmatin, beserta keenam anaknya baru sebulan yang lalu pindah dari Kebondalem, Pemalang, ke Dusun Tulakan, Desa Godog, Kecamatan Polokarto, Sukoharjo, Jawa Tengah. Ketua RT 3 RW 6 Dusun Tulakan Mukhtar Sobaruddin mengatakan, Istiada melaporkan kepindahannya pada 3 Februari.

Dari Pemalang, Jawa Tengah, ayah tiri Dulmatin, Jazuli (57), berharap agar jenazah Dulmatin bisa dimakamkan di tempat kelahirannya, di Kelurahan Petarukan, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang.

Menurut Jazuli, Dulmatin meninggalkan Pemalang sejak sebelum peristiwa Bom Bali I tahun 2002. Polisi menyebutkan Dulmatin juga terlibat dalam pengeboman itu. (SF/PIN/LAS/EK/kps)