Senin, 15 Maret 2010

PEREMPUAN DALAM PILKADA


Tepat 100 tahun Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret lalu diperingati.Usia yang cukup matang untuk menunjukkan eksistensi perempuan di segala ruang,termasuk lingkup pilkada.

IRONISNYA, setiap tahun perayaan Hari Perempuan Internasional itu selalu dihadapkan dengan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan.Pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selalu melekat pada diri kaum hawa.

Belum lagi tindakan diskriminasi gender yang kerap merugikan perempuan di bidang publik maupun politik. Jaringan Aktivis dan Pendukung Gerakan (Jarak) Perempuan Sumut mencatat, sepanjang 2009 sebanyak 81 perempuan mengalami kekerasan seksual dan 17 mengalami KDRT berdasarkan berita di sejumlah koran lokal. Sementara itu,berdasar data dari Womens Crisis Centre (WCC) Sinceritas Sumut, di antara 100 kasus yang ditangani, sebanyak 61 perempuan jadi korban KDRT dan 20 korban pelecehan seksual. Para aktivis perempuan dan pendukung penguatan perempuan mencermati betapa sulitnya mengungkap KDRT.

Bahkan, terkadang isu internal maupun privat yang seharusnya digunakan untuk perlindungan dan kerahasiaan, justru jadi tameng untuk melawan keadilan yang mengabaikan perlindungan pada korban perempuan. Untuk itu,Koordinator Kajian dan Peningkatan Pesada Dina Lumbantobing menilai harus ada kekuatan politik bagi perempuan untuk menempati posisi strategis di pemerintahan dan lembaga politik, khususnya memenangkan calon perempuan di sejumlah pilkada kabupaten/kota. Hal itu bukan tanpa alasan dan fakta. Beberapa negara Skandinavia, seperti Swedia,Dina mengutarakan, sebesar 43,8% perempuan jadi anggota DPR.

Hasil pemilu yang mengantarkan jumlah kaum hawa melenggang ke parlemen tersebut, ternyata membawa efek mencengangkan bagi upaya pembantaian kasus kor u p s i . Korupsi turun hingga 0%.Angka kekerasan perempuan pun turun signifikan. Begitu juga yang terjadi di Rwanda. Setelah kuota untuk perempuan diatur dalam lembaga politik, hukum mengenai pemerkosaan dan pelecehan seksual menjadi terangkat setelah lembaga legislatif dikuasai perempuan. Atas dasar itu pula aktivis perempuan sepakat mengangkat tema kepemimpinan perempuan suatu keharusan untuk keadilan bagi perempuan dan rakyat dalam perayaan Hari Perempuan Internasional kali ini.

Kesempatan untuk memenangkan calon perempuan di kalangan aktivis terbuka lebar di tujuh kabupaten/kota yang sedang menggelar pilkada. Sebab, salah satu pasangan calon diisi kaum perempuan. “Tidak ada kata lain selain pilih perempuan.Sebab,perempuan harus menang dalam pilkada agar diskriminasi, pelecehan, dan KDRT dapat ditekan,”tandasnya. Namun, apakah cukup para calon perempuan tersebut menang dalam pilkada dengan mengandalkan kekuatan jaringan aktivis perempuan? Hal inilah yang masih menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat. Sebab, pada kenyataannya, calon perempuan selalu gagal dalam pilkada.

Aktivis feminisme dari Surabaya Soe Tjen Marching mengakui bahwa perempuan terbiasa disisihkan dalam politik. Sebab, puluhan tahun dalam Orde Baru, organisasi perempuan dikebiri melalui Darma Wanita.Peran perempuan dibatasi dengan pancadarma sebagai pendamping setia suami, ibu generasi penerus, pengatur rumah tangga, pekerja penambah penghasilan, dan anggota masyarakat yang berguna. “Dikonsepsikan bahwa perempuan ideal itu lemah lembut, tidak agresif, tidak aktif dalam politik dan karier, serta mempersalahkan perempuan bila rumah tangga berantakan,” ujar dosen di London University,Inggris,itu.

Karena itu, Soe Tjen menyatakan perlu langkah yang strategis untuk mengubah norma yang telah melekat puluhan tahun tersebut, seperti menggagas kuota keterlibatan perempuan dalam kancah politik sebesar 30%.Karena itu pulalah perlu ada kekuatan penuh untuk memenangkan perempuan dalam pilkada. Pengamat politik Dadang Darmawan mengungkapkan,setiap calon perempuan harus bekerja dua kali lebih keras dibanding calon dari laki-laki.Sebab,budaya patriark yang terbangun di lingkungan masyarakat sangat memengaruhi penilaian terhadap perempuan yang berpolitik. Selain itu, calon perempuan dinilai lemah dalam politik identitas, terutama dalam hal ikatan primordialisme. Itu pula yang sering mengebiri kesempatan calon perempuan maju dalam pilkada maupun pemilu.

Dalam politik identitas, setiap politikus yang akan berkampanye tentu akan berkunjung ke rumahrumah, gereja atau tempat ibadah, arisan marga, tokoh masyarakat atau tokoh adat. Dari semua target kampanye tersebut,umumnya penentu keputusan atau kebijakan didominasi atau bahkan hanya diisi laki-laki. Karena tidak pernah ada tokoh adat maupun tokoh masyarakat dari kalangan perempuan. Begitu juga dengan tokoh agama.Keputusan politik pun terkadang sering tidak menguntungkan bagi kaum perempuan. “Perlu langkah strategis dan taktis untuk mengampanyekan calon perempuan dalam pilkada. Jangan sampai pola kampanyenya justru menyerang diri sendiri. Seperti pola kampanye perempuan pilih perempuan terbukti gagal meningkatkan angka kesempatan calon perempuan dalam politik,” ungkapnya.

Seperti sosok Nelly Armayanti dan Nurlisa Ginting yang maju dalam Pilkada Medan masing-masing sebagai calon Wakil Wali Kota M-edan mengakui calon perempuan jarang menjadi unggulan dalam pilkada. Namun, mereka tetap optimistis memiliki peluang sama dalam Pilkada Medan. Nelly menambahkan, kualitas dan kemampuan politik dan kepemimpinan politikus perempuan tak kalah dengan politikus laki-laki. Jadi, gender bukan ukuran dalam mengukur peluang dan kesempatan seorang calon. Bahkan,menurut Nelly,visi dan misi yang mereka bangun lebih mengena pada persoalan publik. Sebab, perempuan memakai hati dalam membuat kebijakan. Salah satu visi yang akan mereka bangun mengenai akses modal bagi perempuan yang bekerja di sektor usaha mikro kecil menengah (UMKM).

Akan ada kemudahan modal yang diberikan bagi pelaku UMKM yang umumnya menurut persentase mereka didominasi kaum perempuan sebagai home industry(industri rumah tangga). Sementara itu,Nurlisa Ginting menyatakan, kalau dia yang berpasangan dengan Sigit Pramono Asri berencana membangun Medan menjadi taman yang bersinar.“Taman itu kan identik dengan keindahan dan kenyamanan.Seperti itulah konsep yang akan kami bangun untuk Medan ke depan,”ujarnya.

Di samping itu, perlu juga peningkatan ketakwaan dan keimanan dalam memperkuat peran perempuan. Juga melindungi perempuan dari prilaku kekerasan dan pelecehan yang kerap menempatkan perempuan dan anak menjadi korbannya. Dina Lumbantobing menambahkan, dari sisi kemampuan dan intelektualitas, politikus perempuan memiliki kemampuan yang lebih baik daripada calon lain.Tinggal bagaimana masyarakat bisa menerima dan mendukungnya dalam pilkada. Untuk itu, aktivis perempuan tak ingin kehilangan momentum dalam pilkada.

Mereka pun merekomendasikan calon perempuan untuk terpilih dan menang dalam pilkada kabupaten/kota. “Kepemimpinan perempuan harus direbut dan didukung demi keadilan perempuan dan rakyat,”tandasnya. (m rinaldi khair/SI)