Selasa, 16 Maret 2010

ARTIKEL : DIANTARA PARA DOKTER



Oleh:
Shohibul Anshor Siregar


Dokter Sutrisno Hadi, Walikota Tanjung Balai. Dialah satu-satunya Kepala Daerah yang berasal dari profesi dokter, di Sumatera Utara. Kini ada sejumlah dokter yang diperkirakan mengikuti jejak Sutrisno Hadi. Untuk Kota Medan misalnya, santer disebut-sebut dokter Delyuzar Harris, dokter Syahrial R Anas, dokter Sofyan Tan dan dokter Indra Wahidin.

Kedua nama yang disebut pertama sudah lebih maju dengan telah mendaftarkan diri di KPUD melalui jalur perseorangan. Akan halnya Sofyan Tan yang anggota pengurus salah satu partai dan Indra Wahidin, seorang tokoh politik Tionghoa kota Medan lainnya yang memiliki wawasan yang luas, kiranya masih akan berhitung keras dan berdiplomasi dengan kekuatan-kekuatan partai politik sebagai peluang terakhir yang masih terbuka untuk musim ini (2010).

Apa yang menarik dari pencalonan para dokter ini? Adakah hal aneh? Tentulah mereka ini memiliki hak konstitusional yang sama dengan warga negara yang lain, apa pun profesinya. Jika demikian sesuatu yang patut didiskusikan hanyalah serba sedikit latar belakang dan proses menuju pencalonan. Peluang kemenangan di antara pesaing ini tentu belum dapat dibaca sebelum akhirnya calon dari parpol sudah terdaftar resmi di KPUD.

Cobalah bayangkan anak gadis Anda yang cantik itu akan dilamar oleh beberapa orang yang salah satunya seorang dokter. Pertimbangan Anda mungkin jatuh ke dia meski ada anggota polisi, anggota TNI, pengusaha atau dosen biasa. Jadi dokter adalah profesi terhormat di tengah-tengah masyarakat. itu sudah lama. Kurang lebih, ia menjadi subsistem sosial yang bekerja bukan cuma untuk aspek sumberdaya insani, bahkan lebih dari itu bisa dimaknai sebagai profesi "penentu" peralihan status yang berbeda diametral: sehat-sakit dan hidup-mati. Terlepas soal takdir, mutu sumberdaya insani yang terkoreksi dalam proses pembangunan yang akhirnya menghasilkan angka harapan hidup yang lebih tinggi, itu tidak bisa dilepas dari peran kedokteran. Dokter amat signifikan dalam proses itu.

Itukah andalan para dokter ini sehingga menjadi percaya diri menjajal kemampuan untuk bertarung memperebutkan jabatan publik eksekuitf tertinggi di daerah ini? Mungkin ya. Tetapi tentu bukan itu saja. Mereka juga belajar politik dengan cara mereka sendiri hingga tahu persis membuat kalkulasi, persis seperti mendiagnosis penyakit sebelum menentukan resep terapi. Kerangka berfikir ini sangat membantu. Ketika orang tidak tahu masalahnya tentu tak ada jalan untuk keluar dari masalah itu. Nah para dokter terbiasa berfikir objektif dan dengan kekayaan alternatif-alternatif sekaligus. Mereka (sejatinya) bukan tipe manusia fatalistik.

Ada motif kekuasaan? Tentu ya. Dokter Sutomo, ingatlah arek-arek Suroboyo, adalah pribadi yang bermotifkan kekuasaan yang missinya begitu besar melebihi ambisi memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi. Dokter Hariman Siregar? Ya, gugusnya sama, berkorban demi Indonesia. Punyakah mereka motif-motif kekuasaan yang lebih ad hock? Mungkin jika ditanyakan kepada dokter Tarmizi Taher, dokter Abdul Gafur, dokter Panangian Siregar ddan dokter Chairuddin P Lubis, mereka akan menjawab lugas: "mustahil tidak punya," dan itu bukan sesuatu yang diharamkan tentu saja. Bahkan jika diimplementasikan secara bijak dan memenuhi standar idealitas yang digagas-kuatkan secara universal, kekuasaan itu pun sesungguhnya adalah masalahat komunal.

Mengintip Kiprah Para "Mantan" Dokter Almarhum dokter Dalmy Iskandar, aktivis KAPPI/KAMI dan sejumlah organisasi kemahasiswaan/kepemudaan yang akhirnya semakin terkenal dalam organisasi demonstran 66 yang menumbangkan orde lama itu, malah sampai akhir hayatnya dikenal sebagai salah seorang di antara "banyak" dokter yang "lupa menyuntik". Tak bisa lagi memegang steteskop, membuat resep dan malah (pekerjaan sederhana) membaca suhu tubuh pasien. Akan halnya dokter Zakaria Siregar masih berpraktik sebagai konsultan Anak hingga ajal menjemputnya. Dari organisasi yang amat dicintainya HMI, dokter keturunan raja dari Bagas Godang Sipirok ini begitu giat melakukan perlawanan terhadap PKI dan bahkan setelah itu mengabadikan pewrjuangannya melalui Angkatan 66. Dia dirikan sebuah Yayasan untuk itu, dan di antara monumental yang dihasilkan kenanglah tugu Angkatan 66 di Jalan Kretaapi dan tugu perjuangan 66 di Kampung Kolam.

Generasi yang lebih muda sebutlah dokter Wahab Sugiharto yang menjadi Ketua KNPI Sumatera Utara tahun 80-an. Juga dokter Abidinsyah Siregar yang menjadi Ketua Badko HMI. Kedua dokter yang disebut terakhir ini belakangan menjadi birokrat yang diserap dalam pemerintahan. Ada pun dokter Robert Valentino Tarigan yang terkenal amat halus tutur bahasanya, malah mengambil gelar kesarjanaan (lagi) dalam bidang pendidikan karena dan untuk aktivitasnya yang amat maju dalam bidang bimbingan studi/bimbingan test yang menjadi tempat banyak calon mahasiswa menggantungkan harapannya. Dokter-dokter yang sampai lupa menyuntik ini kebanyakan memiliki pusat perhatian politik yang amat luar biasa dan begitu kuat berhubung kepiawaiannya dalam bidang itu diperoleh secara autodidak.

Akan halnya dokter Supredo Sembiring Kembaren, dokter Dol Barbarosa, dokter Muhammad Rasyid dan banyak lagi yang lainnya tetap saja sebagai dokter profesional dengan pusat perhatian "sampingan" yang membuatnya dikenal di luar profesi kedokterannya. Dan mereka bisa.

Bisa Menyuntik dan Mau Berkuasa

Dokter Syahrial R Anas pernah menjadi Direktur RSU Pirngadi dan dokter Delyuzar Harris adalah satu di antara amat sedikit ahli pathologi anatomi yang ada di Sumatera Utara. Orang berdua ini bukan dokter sembarangan, bukan orang yang sulit mencari kehidupan dan popularitas yang amat dihargai dengan keahlian profesional sebagai dokter.

Dengan program jamkesmas Syahrial R Anas relatif menjadi lebih populer di jajaran birokrasi. Delyuzar berbeda, dalam peran besar pada kumpulan sejawat ahli pathologi, dokter kelahiran Pasaman ini juga memiliki aktivitas kemasyarakatan yang luar biasa sejak usia mudanya. Banyak memberi bimbingan kepada remaja mesjid, kalangan LSM, kalangan marjinal dan kalangan penduduk dengan permasalahan khusus, dokter yang giat bersama save the children ini juga memiliki tidak sekadar hubungan kerja dengan komunitas-komunitas masyarakat yang diadvokasinya. Ada kaitan batin yang kuat.
Kedua dokter ini berbeda posisi dalam pemilukada 2010, meski satu dalam gugus perseorangan. Dokter Syahrial R Anas menjadi bakal calon walikota sedangkan dokter Delyuzar menjadi bakal calon wakil.

Beberapa hari sebelum pendaftaran di KPUD Kota Medan, seseorang yang saya kenal lama (mantan mahasiswa saya, Rafdinal) meminta pendapat sehubungan dengan niatnya memenuhi permintaan dokter Syahrial R Anas yang ingin memasangkannya sebagai bakal calon wakil. Saya ajak berfikir keras. Anda tahu bahwa pemilihan langsung sekaligus telah mengembangkan tradisi politik komunal? Anda tahu berapa persen orang Minang di Kota Medan? Anda tahu berapa budget yang akan dikeluarkan untuk kampanye? Rafdinal terdiam dan akhirnya setelah beberapa menit diskusi melalui telefon ia pun melakukan sholat istiharah. Akhirnya ia pun meminta maaf karena tidak dapat mendampingi dokter Syahial R Anas.. Dokter ini akhirnya menggandeng seorang tokoh Jawa (Yahya Sumardi) menjadi bakal calon wakil.

Maulana Pohan pernah saya pertemukan dengan dokter Delyuzar Harris dan sepakat saling menjajaki peluang untuk bersama dalam pemilukada kota Medan 2010. Maulana sejak awal tidak berminat menempuh jalur perseorangan yang menyebabkan kesulitan dalam usaha penyatuan kedua figur ini. Jika melalui partai tentulah Maulana Pohan tidak bisa leluasa mengajukan calon wakilnya, dan ini membuat dokter Delyuzar Harris berupaya menemukan pasangan. Jika akhirnya mendaftar berpasangan dengan Indra Sakti Harahap, pilihan itu dipastikan sebagai alternatif yang diputuskan last minutes. Tidak ada nama Indra Sakti Harahap dalam alternatif yang pernah dipasangkan untuk dokter Delyuzar Harris. Di kubunya sudah diputuskan sebelumnya siapa-siapa figur yang boleh berpasangan dengannya karena dianggap dapat dan mampu membuat perubahan di kota Medan jika menang, dan pilihan pertamanya memang Maulana Pohan. Di antara pertimbangan pilihan kepada Maulana Pohan ialah bahwa tokoh ini dianggap menjadi satu di antara dua ikon gugus yang kuat dalam rivalitas politik di kota Medan.

Gugus pertama ialah gugus ambruk yang ikonnya Abdillah. Gugus kedua ialah gugus berubah yang ikonnya Maulana Pohan. Lagi pula, orang-orang Delyuzar Harris amat yakin Maulana Pohan tidak akan menyengsarakan wakilnya jika berkuasa dan dijamin tidak akan ada konflik sebagaimana menjadi kelaziman pemerintahan dewasa ini.

Saya ketahui pula banyak figur yang "melamar", dokter Delyuzar Harris. Namun semua ditolak karena kriteria yang sudah disusun eksplisit dan pertimbangan prospek pemerintahan kota Medan yang tidak boleh degradatif (lagi). Bersama Indra Sakti Harahap tentu peluang pasangan ini cukup menjanjikan terutama jika Rahudman Harahap benar-benar memilih terus berkarir pada jalur birokrasi normal, tidak ikut-ikutan pemilukada. Dokter, jangan sampai lupa menyuntik jika pun sudah (nanti) menjadi Walikota !!!

(penulis:Shohibul Anshor Siregar, Koordinator Umum 'nBASIS)