Selasa, 09 Maret 2010

ARTIKEL: TERORISME ACEH 2010

Oleh: Andi Widjajanto

Sejak 22 Februari 2010, Polri menggelar operasi tempur untuk memburu kelompok bersenjata yang melakukan pelatihan militer di kawasan hutan Jalin, Aceh Besar. Gelar operasi Polri ini dapat dianalisa dengan tiga perspektif.

Perspektif pertama melihat kinerja intelijen untuk melakukan peringatan dini. Di satu sisi, intelijen dapat dinilai berhasil menjalankan fungsi karena mampu mengidentifikasi keberadaan suatu kelompok bersenjata sebelum kelompok itu menjalankan aksinya. Namun, di sisi lain, keberadaan sekitar 50 orang bersenjata di suatu wilayah yang masih jadi prioritas utama kebijakan pertahanan dan keamanan negara juga menunjukkan ada kelemahan dalam gelar operasi intelijen.

Jika indikasi keterlibatan jejaring asing di Afganistan, Malaysia, dan Timur Tengah terbukti, salah satu kelemahan utama intelijen kita adalah mengantisipasi gerak jejaring kejahatan transnasional. Jejaring ini terbukti mampu melakukan penyusupan teritorial secara efektif di wilayah- wilayah yang tak memiliki tata pemerintahan kuat. Penyusupan teritorial dilakukan lewat operasi penyelundupan senjata, migrasi ilegal, perdagangan obat terlarang, dan pencucian uang.

Saat ini, operasi Polri di Aceh hanya terkait pelatihan militer yang merupakan manifestasi suatu rencana aksi teror yang sedang dirancang suatu kelompok. Operasi ini baru akan menuai hasil optimal jika dinas-dinas intelijen juga segera bergerak simultan membongkar jejaring transnasional yang memberikan dukungan finansial, logistik, dan pengadaan senjata yang memungkinkan kelompok ini hadir di Aceh. Operasi Polri juga harus disertai suatu operasi intelijen untuk mengungkap jejaring teror yang akan memakai kelompok bersenjata Aceh dalam suatu serangan teror. Pola serangan yang selama ini terjadi menunjukkan saat suatu kelompok bersenjata mendapat pelatihan militer dalam suatu tempat khusus, sel-sel teroris lain telah bergerak untuk menyiapkan doktrinasi ideologi, logistik aksi teror, hingga pengintaian dan penyusupan ke sasaran aksi teror.

Eskalasi teror

Perspektif kedua menganalisa keberadaan kelompok teror di Aceh sebagai bentuk eskalasi ancaman teror. Pertanyaan utama yang harus dijawab, seberapa besar kekuatan jejaring teror di Indonesia. Keberhasilan Densus 88 untuk menumpas sel-sel utama Azahari dan Noordin M Top tampaknya tidak menurunkan kemampuan jejaring ini untuk terus melaksanakan aksi teror di Indonesia. Kita bahkan melihat kemungkinan jejaring ini terus- menerus menguat dan melancarkan serangan-serangan baru dengan tingkat kehancuran yang lebih kuat.

Pasca-serangan Juli 2009, misalnya, kita dikejutkan oleh pernyataan SBY yang memaparkan kemungkinan munculnya jejaring teror yang lebih kompleks. Jejaring teror di Indonesia tidak hanya terkait kelompok Al Qaeda dan Jemaah Islamiyah, tetapi dapat juga terkait kelompok politik radikal dan gerakan separatis bersenjata. Kita juga terenyak saat penggerebekan Jatiasih secara nyata mengungkap perubahan pola modus operandi jejaring teror yang telah memiliki kemampuan untuk melancarkan serangan langsung terhadap keselamatan pribadi Presiden dan keluarganya.

Kini, bersamaan operasi Polri di Aceh 2010, eskalasi ancaman teror kembali tampak. Operasi yang dilakukan 100 anggota Brigade Mobil Polri dan Densus 88 ini digelar saat yang sama ketika Singapura dan Malaysia memberikan peringatan terhadap peningkatan aksi teror dan pembajakan di Selat Malaka. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro telah memberikan instruksi kepada Panglima TNI untuk meningkatkan kewaspadaan maritim di Selat Malaka. Panglima TNI bahkan telah mengeluarkan pernyataan, kelompok bersenjata di Aceh mungkin terkait peningkatan aksi teror dan pembajakan di Selat Malaka.

Jika saat ini suatu skenario terburuk harus dibuat untuk eskalasi teror, kita harus mengantisipasi munculnya suatu jejaring terorisme transnasional baru yang jauh lebih kuat dari sel teror Azahari-Noordin M Top. Jejaring ini mampu bergerak sebagai kelompok militer bersenjata terorganisasi dalam kelompok-kelompok kecil yang tersebar di beberapa wilayah secara bersamaan. Jejaring ini mampu melancarkan berbagai jenis aksi mulai dari bom bunuh diri, serangan frontal ke sasaran-sasaran vital, berbagai jenis kejahatan transnasional, hingga gerakan separatis bersenjata lokal.

Penguatan kontra teror

Perspektif ketiga terkait dengan jenis operasi kontra teror yang dilakukan Indonesia. Saat ini, melalui UU No 15 Tahun 2003, kita lebih melihat aksi teror sebagai bentuk kejahatan khusus yang didekati melalui mekanisme penegakan hukum. Melalui pendekatan ini, Indonesia menciptakan Densus 88 sebagai satuan khusus di dalam organisasi Polri yang menjadi instansi penjuru penumpasan teror.

Jika pendekatan ini dilaksanakan secara efektif, kita seharusnya melihat terjadinya pelemahan jejaring teror di Indonesia. Namun, saat ini ada indikasi kuat eskalasi teror benar-benar terjadi. Jejaring teror telah menjelma jadi jejaring transnasional, yang walau terjepit dalam berbagai operasi kontra teror Densus 88 tetap mampu mengembangkan sel teror baru.

Saat ini, tekanan ada di Densus 88 untuk dapat menunjukkan kinerja positif dengan memberikan bukti terjadinya deeskalasi teror di Indonesia. Kegagalan Densus 88 melemahkan jejaring teror akan membawa Indonesia ke alternatif lain yang lebih keras, seperti munculnya UU Teror yang lebih represif atau militerisasi operasi teror. Semoga alternatif keras tidak harus dipilih oleh Indonesia.

Andi Widjajanto Dosen Program Pascasarjana Kajian Terorisme Internasional Universitas Indonesia