Minggu, 07 Maret 2010

KPK Temukan Dugaan Penyimpangan FPJP


Jakarta - Gelar perkara yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi pada Jumat hingga tengah malam belum memutuskan proses penyelidikan bisa dinaikkan menjadi penyidikan. Namun, mereka menemukan titik terang adanya dugaan penyimpangan pada tahap pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek dari Bank Indonesia ke Bank Century.

”Sampai saat ini, perkara Bank Century masih dalam tahapan penyelidikan,” kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi M Jasin di Jakarta, Sabtu (6/3).

”Sudah ada sedikit kemajuan adanya temuan tim pada FPJP (fasilitas pendanaan jangka pendek) yang perlu diperdalam agar jelas ada atau tidaknya indikasi korupsi,” tambah Jasin.

Oleh karena itu, pimpinan KPK memerintahkan tim penyelidik untuk mengumpulkan keterangan-keterangan tambahan untuk menemukan bukti-bukti yang cukup. ”Gelar perkara belum selesai, akan dilanjutkan pada Senin (8/3),” tutur Jasin.

Gelar perkara tersebut, kata Jasin, diikuti semua pimpinan KPK dan 22 anggota tim penyelidik kasus ini, bertujuan untuk memutuskan apakah perkara itu bisa dinaikkan ke tahap penyidikan atau belum. Dengan naiknya perkara ke penyidikan, KPK biasanya menetapkan adanya tersangka.

Jasin menjamin, KPK bertindak independen dalam kasus ini dan sama sekali tidak terpengaruh dengan dinamika politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ataupun pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ”Lima pimpinan KPK juga masih solid, tak ada voting. Gelar perkara lebih bersifat diskusi,” kata dia.

Sebagaimana diberitakan, pada 3 November 2008, manajemen Bank Century mengajukan permohonan FPJP kepada BI sebesar Rp 1 triliun dengan alasan kesulitan likuiditas. Permohonan itu diulangi pada 3 November 2009. Karena adanya permohonan itu, sejak 6 November 2008 Bank Century resmi dalam pengawasan khusus BI.

Pada 14 November 2008, setelah mengubah peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang ketentuan rasio kecukupan modal (CAR) minimum dari 8 persen menjadi minimal 0 persen, Bank Century mendapat dana Rp 356,8 miliar. Tiga hari kemudian (17 November 2008), kembali Bank Century diberi uang Rp 145,2 miliar dan sehari kemudian ditambah lagi Rp 187,3 miliar sehingga jumlah total FPJP yang diterima Rp 689 miliar.

Dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan disebutkan, kebijakan pengucuran dana FPJP diindikasikan terjadi tindak pidana berupa penyalahgunaan wewenang, yaitu perubahan PBI No 10/26/PBI/2008 tertanggal 30 Oktober 2008. Menurut PBI tersebut, untuk memperoleh FPJP, bank harus memiliki CAR 8 persen. Padahal, posisi CAR Bank Century sebelum FPJP ternyata sudah minus 3,53 persen (Kompas, 10 Desember 2009).

Namun, Wakil Presiden Boediono, yang waktu itu Gubernur BI, berkali-kali telah membantah hal ini. Dia menyebutkan, FPJP ialah ketentuan umum BI yang diterbitkan terkait dengan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 bagi semua bank apabila terjadi situasi darurat keuangan.

”Jadi, berlaku untuk semua, bukan Bank Century saja. Memang, yang paling parah saat itu adalah Bank Century,” kata Boediono (Kompas, 22 November 2009).

Bisa dipidana

Pengajar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Eddy OS Hiariej, menilai, pada dasarnya kebijakan memang bisa dipidana jika kebijakan itu menjadi pintu masuk untuk melakukan perbuatan pidana, ada moral hazard atau itikad tidak baik, dan melanggar peraturan perundangan. Tiga syarat tersebut harus dipenuhi secara akumulatif, yaitu tiga-tiganya harus terpenuhi.

Dalam kasus FPJP, kata Eddy, syarat ketiga sebenarnya sudah terpenuhi, yaitu ketika BI mengubah peraturan terkait CAR. Yang paling sulit dibuktikan adalah syarat pertama dan kedua, apakah keputusan pemberian FPJP dan penyalahgunaan dana tersebut merupakan suatu rangkaian perbuatan dengan kausalitas yang nyata. Karena itu, KPK harus menemukan motif atau intensi atau kesengajaan dari si pembuat kebijakan.

”Kalau disalahgunakan sudah terbukti. Uang itu dilarikan ke rekening-rekening yang tak jelas. Namun, apakah pengambil kebijakan memiliki intensi, itu yang sangat sulit untuk dibuktikan. Bahkan oleh KPK sekalipun,” kata Eddy.

Eddy mencontohkan kasus yang dialami mantan Gubernur BI Syahril Sabirin dalam kasus Bank Bali. Di pengadilan, Syahril Sabirin terbukti mengubah Surat Keputusan Bersama (SKB) 6 Maret 1998 menjadi SKB 11 Februari 1999 untuk memuluskan klaim Bank Bali senilai Rp 904,6 miliar. Pengadilan memutuskan bahwa hal tersebut merupakan perbuatan tercela yang menguntungkan Bank Bali. Eddy juga menjelaskan kebijakan itu dikeluarkan karena intervensi pihak luar. ”Itu yang harus dibuktikan KPK dalam FPJP,” ujarnya.

Namun, praktisi hukum Taufik Basari mengemukakan pendapat berbeda. Motif tersebut tidak berarti harus untuk menguntungkan si pengambil kebijakan sendiri, tetapi bisa untuk menguntungkan orang lain.

”Meski tidak ada keterkaitan motif secara langsung, si pengambil kebijakan tetap bisa diproses,” kata Taufik.

Di Batam, Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD mengemukakan, temuan Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat tentang Hak Angket Bank Century bisa dijadikan alat bukti di pengadilan, baik hukum pidana maupun tata negara.

”Malah jika proses hukum masuk ke Mahkamah Konstitusi, temuan tersebut justru menjadi alat bukti paling penting,” kata Mahfud, saat ditemui seusai reuni alumni Universitas Islam Indonesia Yogyakarta di Batam, Kepulauan Riau, Jumat malam.

Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu, menyatakan, pemerintah beserta institusi yang terkait harus menindaklanjuti rekomendasi DPR terkait kasus Bank Century.

Tindakan tersebut adalah bentuk apresiasi pemerintah terhadap kinerja anggota Dewan selama berbulan-bulan menyelidiki kasus dana talangan Bank Century yang bermasalah itu. ”DPR memiliki fungsi kontrol terhadap pemerintah. Jadi, apa yang sudah dilakukan DPR seharusnya diapresiasi oleh pemerintah. Masak hasil kerja mereka tidak didengarkan,” kata Megawati.

Di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Ketua Umum Partai Golkar DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie menyatakan, mundur atau tidak dari jabatan wakil presiden adalah urusan Boediono. ”Itu urusan yang bersangkutan apakah mau mundur atau tidak,” ujar Aburizal kemarin.(WER/APO/LAS/ANA/AIK/kps)