Kamis, 04 Maret 2010

BANJIR SUNGAI MUSI: MEREKA HANYA MAKAN, TIDUR DAN BERUTANG


Banjir yang melanda sejumlah daerah di Sumatera Selatan menyisakan penderitaan panjang bagi warganya. Di antara para korban itu adalah ribuan petani karet. Telah lebih dari dua bulan mereka tidak bisa menyadap karet, satu-satunya sumber nafkah bagi keluarga.

Hari Minggu (21/2) pagi, Rosyid (45) bersepeda ke rumah. Menyusuri jalan provinsi yang diapit kebun karet di wilayah Dusun Sanga Desa, Kabupaten Musi Banyuasin, menuju Kampung Tanjung Raya, ia membawa ikatan-ikatan ikan sungai.

Dua bulan terakhir, kerja Rosyid hanya mondar-mandir antara rumah dan lokasi warga mencari ikan di tepian Sungai Musi yang tengah banjir. Itu terjadi karena, sejak awal Januari 2010, air Sungai Musi yang terletak di belakang kampungnya meluap.

Setiap musim hujan, Sungai Musi pasti meluap. Namun, kata Rosyid, air meluap biasanya hanya 50 sentimeter sehingga tidak merendam permukiman. Selain itu, luapan air Sungai Musi biasanya cepat surut.

Kali ini, banjir yang terjadi sejak awal Januari lalu tergolong besar. Hingga Selasa kemarin, air Sungai Musi setidaknya sudah merendam permukiman warga setinggi 1-3 meter, bergantung tinggi-rendahnya lokasi permukiman.

Selain permukiman, luapan air Sungai Musi juga merendam perkebunan karet. Mulai dari daerah Muara Kelingi di Kabupaten Musi Rawas, Muara Lematang dan sekitarnya di Kabupaten Muara Enim, hingga Rantau Bayur di Banyuasin. Persis di sepanjang tepian Musi itu terdapat ratusan ribu hektar perkebunan karet rakyat.

Di wilayah itu, luapan air Sungai Musi sudah merendam tanaman karet hingga semeter lebih. ”Ini adalah banjir terbesar dalam lima tahun terakhir dan lama,” ujar Rosyid.

Sulay (46), warga Kampung III, Desa Kemang, Kecamatan Babat Toman, Kabupaten Musi Banyuasin, juga mengeluhkan akibat dari terendamnya rumah dan kebun karetnya. Ia dan petani karet lainnya sudah sejak dua bulan terakhir tidak bisa menyadap getah karet sehingga penghasilan harian pun ikut hilang.

”Sambil menunggu banjir surut, praktis pekerjaan saya hanya makan, minum, dan tidur,” ujar bapak tiga anak itu.

Sebagai pengisi waktu, ia hanya ikut warga kampung mencari ikan di luapan air Sungai Musi. Dari kegiatan itu, Sulay memang mendapatkan sedikit penghasilan, sekitar Rp 10.000 sehari. Itu jelas tak mencukupi.

”Saya punya tiga anak, kebutuhan hidup terus ada, sementara penghasilan boleh dibilang nol. Terpaksa saya meminjam uang, mencari utangan ke sana-sini,” tutur Sulay.

Selama dua bulan tidak bisa menyadap getah karet, utang Sulay kepada tauke karet sudah hampir Rp 5 juta. Saat dirunut, ternyata hampir semua petani karet di sepanjang tepian Musi memilih hidup dengan cara Sulay. Salah satu alasannya karena petani karet itu memiliki keterikatan dengan para tauke.

Model keterikatan itu macam-macam. Ada yang memiliki lahan dan kemudian mendapat pasokan bibit dari pedagang karet. Ada yang hanya jadi petani penggarap di lahan milik pedagang serta ada juga petani yang memiliki lahan dan bibit sendiri, tetapi sudah terikat penjualan dengan pedagang tersebut.

Bagi petani karet yang mendapatkan bibit dari pedagang, mereka tidak bisa mendapatkan penghasilan penuh. Setiap kali memanen karet, mereka harus membagi hasil penjualan. Dua bagian menjadi hak petani dan satu bagian jadi hak pedagang.

Bagi petani penggarap, mereka hanya mendapat satu bagian. Bagi petani pemilik lahan dan bibit, mereka akan mendapatkan jaminan pembelian.

Alasan keterikatan itu juga membuat Yasin (48), tetangga Rosyid, melakukan hal yang sama. Ia sendiri sudah meminjam sedikitnya Rp 10 juta kepada tauke. Baik Rosyid, Yasin, Sulay, maupun petani karet lainnya tetap khawatir jika air Sungai Musi tak kunjung surut. Itu berarti utang kian menumpuk.

Saat ini, getah karet sadapan petani dihargai sekitar Rp 9.000 per kilogram. Apabila setiap minggu petani bisa menyadap dan mendapatkan 100 kilogram getah di lahan milik sendiri, penghasilannya Rp 900.000. ”Meski nantinya dipotong satu bagian tauke, uang perolehan penjualan itu sudah bisa dipakai mencicil utang,” ujar Rosyid.

Sayangnya, sampai sekarang ia tetap belum bisa menyadap karet. Air Sungai Musi tak kunjung surut, malah cenderung kian tinggi. Kini, harapan tinggal pada kemurahan alam. Tak ada lagi yang bisa mereka lakukan kecuali berharap banjir akibat luapan air Sungai Musi kembali surut. Sebuah harapan dalam kepasrahan..../kps