Rabu, 03 Maret 2010

Jakarta Berkelanjutan Belum Terlambat Emisi Kota Capai 75 Persen



Jakarta - Emisi kota-kota di dunia cukup tinggi, yaitu hingga 75 persen. Indonesia pun terlibat dalam pengembangan pola pikir baru serta kebijakan inovatif untuk mewujudkan kota berkelanjutan bersama negara Asia-Pasifik lainnya.

”Selama tiga hari ke depan, pertemuan ini untuk mengembangkan blue print atau acuan serta peta jalan mewujudkan kota-kota berkelanjutan,” kata Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Lingkungan Global dan Kerja Sama Internasional Liana Bratasida, saat Pertemuan Pejabat Tingkat Menteri Lingkungan Hidup anggota ASEAN beserta enam negara Asia-Pasifik lainnya, Selasa (2/3), di Jakarta.

Keenam negara Asia-Pasifik tersebut meliputi Jepang, China, Republik Korea, India, Australia, dan Selandia Baru. Kegiatan berlangsung pada 2-4 Maret 2010.

Sebanyak tujuh kota ditunjuk sebagai materi pembahasan studi kasus kota berkelanjutan, di antaranya Balikpapan, Jakarta Pusat, dan Palembang di Indonesia. Kota lainnya adalah Kitakyushu dan Nagoya di Jepang, Sibu (Malaysia), serta Puerto Princesa (Filipina).

Selain bertujuan membentuk blue print kota berkelanjutan di wilayah Asia-Pasifik, pertemuan itu juga untuk mewujudkan kerja sama dan menjalin jaringan yang menguntungkan.

”Ada tiga indikator yang harus diwujudkan, yaitu clean air(udara bersih), clean water (air bersih), dan clean land (tanah bersih),” ujar Liana.

Pada pembukaan kegiatan itu kemarin, hadir memberikan sambutan Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta, Wakil Menteri Lingkungan Hidup Jepang Hikaru Kobayashi, mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim, dan Ryoiki Hirono dari Universitas Seikei, Jepang.

Hatta menekankan pentingnya pemerintah kota mengembangkan kerja sama untuk mewujudkan konsep kota hijau dan berkelanjutan. Pemerintah kota memegang peranan paling penting untuk pengendalian pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim.

Kota Jakarta

Emil Salim di dalam konferensi pers mengemukakan, wilayah Jakarta Pusat menjadi salah satu studi kasus dalam pembahasan kota berkelanjutan. Wilayah kota yang menjadi pusat ibu kota Republik Indonesia saat ini dihadapkan pada kondisi buruknya saluran air. Akibatnya, saat hujan deras, hanya dalam waktu singkat terjadi banjir.

”Dalam waktu 10 hingga 15 tahun ke depan, Jakarta belum tenggelam. Kesempatan itu cukup untuk mencegah supaya Jakarta tetap tidak tenggelam,” kata Emil Salim.

Menurut Emil, terdapat tiga persoalan paling penting untuk segera ditangani dalam mewujudkan Jakarta sebagai kota berkelanjutan. Ketiga hal itu adalah persoalan sampah, sungai, dan penghijauan.

”Surabaya dan Kitakyushu di Jepang memiliki pola yang sama dalam hal penanganan sampah yang baik,” kata Emil.

Hikaru Kobayashi menerangkan, persoalan sampah ditangani Jepang secara saksama. Bahkan, berbagai jenis sampah yang tidak bisa ditangani negara tertentu dapat diatasi di Jepang. ”Sampah di Jepang pada umumnya diupayakan supaya bisa dipergunakan kembali,” kata Kobayashi.

Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan Hermien Roosita dalam konferensi pers itu menyatakan, berkaitan dengan sampah, Indonesia tetap memegang aturan pelarangan impor sampah yang mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3).

”Itulah tujuan kita meratifikasi perjanjian Basel untuk melindungi diri dari limbah B3,” ujar dia.

Pemerintah Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, satu di antara tujuh kota yang digunakan untuk studi kasus kota berkelanjutan, disebutkan memiliki target melindungi 52 persen area hijau pada tahun 2030.

Selebihnya, kota-kota lainnya menempuh target dengan mereduksi emisi karbon melalui pemanfaatan sumber energi terbarukan, penanaman pohon, dan pengembangan manajemen sampah. (NAW/kps)