Rabu, 17 Maret 2010

BARU SEDIKIT RUMAH SAKIT KEMBANGKAN OBAT HERBAL


DI TANAH AIR,Aldrin menyebutkan ada sejumlah kendala penggunaan obat alam dalam sistem pelayanan kesehatan konvensional antara lain, belum sempurnanya sistem perundangan kesehatan yang mengatur.

Selain itu, Indonesia juga belum memiliki peraturan jelas bagi dokter dalam menggunakan obat bahan alam dalam pengobatannya. Para dokter belum memperoleh informasi yang lengkap mengenai obat alam dan pedoman penggunaannya serta belum banyaknya informasi tentang keamanan dan efektivitas secara klinis pada obat-obat bahan alam.

Dalam mengantisipasi penggu naan obat bahan alam dalam bidang kesehatan,pemerintah Indonesia sebenarnya melalui institusi terkait telah mengeluarkan berbagai aturan yang bertujuan untuk melindungi, baik pengguna maupun pemberi layanan kesehatan. Berbagai institusi tersebut antara lain Kementerian Kesehatan yang telah mengeluarkan peraturan sehubungan dengan penggunaan herbal dalam pelayanan kesehatan konvensional.

Juga Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang menerbitkan berbagai peraturan yang antara lain membagi obat bahan dalam tiga kategori berdasarkan atas cara pembuatan, serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, yaitu jamu, herbal terstandar,dan fitofarmaka. Definisi yang dijabarkan BPOM, jamu merupakan obat asli Indonesia yang ramuan,cara pembuatan,penggunaan, pembuktian khasiat, dan keamanannya, berdasarkan pengetahuan tradisional.

Pembuktian khasiat jamu hanya berdasarkan pengalaman atau data empiris, bukan uji ilmiah dan klinis. Sementara herbal terstandar adalah obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah melalui uji praklinis (pengujian terhadap hewan percobaan). Tetapi belum diuji secara klinis atau pada manusia, meski bahan bakunya sudah distandardisasi.

Sedangkan fitofarmaka merupakan sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan secara ilmiah melalui uji praklinis dan klinis,yang bahan baku dan produk jadinya telah distandardisasi.Produk fitofarmaka dapat disetarakan dengan obat modern dan sudah dapat diresepkan oleh dokter. Aldrin mengatakan, seorang dokter hanya boleh meresepkan obat herbal fitofarmaka,yang telah teruji klinis dan telah diujikan terhadap manusia.

”Namun tidak sembarang dokter boleh memberikan resep obat herbal. Dokter tersebut harus besertifikasi organisasi profesi,” terangnya. Di RS Kanker Dharmais sendiri, jelas Aldrin,sebuah penelitian beberapa waktu lalu menunjukkan sebanyak 80% pasiennya memakai pengobatan di luar terapi utama, berupa herbal atau akupunktur.Saat ini selain RS Dharmais, ada tiga rumah sakit yang mengembangkan konsep CAM yaitu RS Persahabatan Rawamangun (akupunktur dan herbal),RS Kandouw Manado (hiperbarik), dan RS Soetomo Surabaya (obat tradisional).

Di Indonesia baru ada empat rumah sakit yang telah terakreditasi oleh Kementerian Kesehatan dapat memberikan resep obat herbal atau CAM yaitu RS Kanker Dharmais Jakarta, RS Persahabatan Jakarta, RSUD Dr Soetomo Surabaya,dan RS Kandou Manado.(rendra hanggara)