Minggu, 07 Maret 2010

SHEIKH ABDUL AZIZ BUKHARI


Maria Hartiningsih

Menemui Sheikh Abdul Aziz Bukhari (60) adalah menemui keheningan di tengah badai dan kehangatan di tengah udara bersuhu lima derajat celsius di Kota Tua Jerusalem. Matahari muncul sangat sesaat sebelum sinarnya kembali digulung awan hitam yang mengirim hujan lebat dan rasa murung yang panjang. Cuaca yang sangat tidak menentu sejak pagi, pada hari Jumat (26/2), juga terasa seperti metafora iklim politik di wilayah itu. Meski demikian, Via Dolorosa adalah jantung kota yang terus berdetak, dihidupi hiruk pikuk pedagang menawarkan cendera mata berpadu suara doa yang didaraskan para peziarah. Labirin-labirinnya menyimpan kekayaan sejarah spiritual yang tak lapuk dimakan zaman.

Kami berjalan bergegas memasuki pintu kecil, di antara tembok bata yang separuhnya terkelupas di satu sudutnya, di dekat Jembatan Al-Ghawanmeh. Pintu itu langsung berhadapan dengan tangga besi dengan kemiringan 60 derajat di gang sempit tertutup yang harus ditapaki untuk menuju beranda terbuka. Angin kencang nyaris mengempaskan tubuh yang kuyup.

Seorang gadis kecil membuka pintu rumah beratap rendah di tingkat tiga bangunan tua, yang langsung menyapa langit.

”Selamat datang…. Kota Tua ini lebih dari sekadar yang Anda lihat,” ujar Sheikh Bukhari dengan suara lunak dan dalam. Sorot matanya sangat teduh.

Ia adalah pemimpin komunitas Sufi Naqsabandiah dan salah satu tokoh yang melahirkan Jerusalem Peacemakers, suatu organisasi nirlaba yang didirikan para tokoh Islam, Kristen, dan Yahudi untuk mempromosikan dan membangun perdamaian di Kota Suci Jerusalem.

”Perdamaian di Jerusalem sangat penting,” ia menyambung, ”Jerusalem adalah jantung dunia. Kalau perdamaian dan rekonsiliasi dapat dicapai di sini, perdamaian di mana pun di dunia bisa dicapai.”

Jerusalem adalah wilayah yang diperebutkan dalam konflik Israel-Palestina. Dampak sejak perang tahun 1967 sangat memengaruhi rasa aman pengunjung yang berziarah ke tiga tempat suci dari tiga agama, yang berada di satu kompleks di kawasan Kota Tua Jerusalem.

Namun, seperti dikatakan Sheikh Bukhari, ”Kota Tua ini dihuni berbagai komunitas yang menyapa siapa saja yang datang. Kalau Anda tinggal di sini untuk beberapa waktu, Anda akan pulang dengan membawa Jerusalem di dalam jiwa.”

Menolak kekerasan

Sheikh Bukhari memandang dunia yang karut-marut dengan harapan dan spiritualitas yang penuh. Ia merasakan ketegangan, menyaksikan orang terus berperang, saling membunuh, dan menebar kebencian.

”Di mana-mana, dua pihak berhadapan. Di India, Hindu dan Islam; di Afrika, Muslim dan Kristen; di Irlandia, Katolik dan Protestan; di Aljazair, Muslim dan Muslim. Di sini, Israel dan Palestina, di Palestina, Hamas dan Fatah.”

Ia melanjutkan, ”Mereka sama-sama manusia. Lalu mengapa mereka berperang? Ini bukan perang antaragama, tetapi tentang eksistensi, tentang politik dan kekuasaan. Apa pun yang tidak menghormati kehidupan, bukan agama. Agama adalah cinta dan memaafkan.”

Banyak orang menganggap yang terjadi di kawasan ini adalah perang agama....

Kami menolak kalau dikatakan kekerasan agama. Di sini ada tiga agama besar yang berasal dari sumber sama, dan semua membawa pesan kemanusiaan yang penting. Tuhan menciptakan banyak agama, banyak nabi dan orang suci. Pesan-Nya jelas. Tak ada agama yang menganjurkan orang melakukan kekerasan.

Perebutan tanah? Wilayah?

Kita semua akan kembali ke tanah, kenapa harus berperang memperebutkan tanah? Tanah ini milik Sang Mahapencipta. Bagaimana bisa kita mengklaimnya? Perebutan tanah atas nama apa pun telah mengancam kehidupan penduduk dari pihak-pihak yang bertikai dan bisa memusnahkan keduanya.

Sudah 16 tahun mereka berperang, dan kalau perang berlanjut 16 tahun lagi, apa yang didapat? Perang tak pernah memberi kemenangan, apalagi harapan. Perang hanya meninggalkan kekalahan, kebencian, dan penderitaan. Membunuh orang adalah hal terburuk yang tak pernah dianjurkan agama apa pun.

Mungkin berperang untuk mempertahankan yang dianggap benar adalah jihad....

Jihad terbesar dan tersulit adalah jihad melawan nafs (nafsu) di dalam diri kita. Dalam perang, tiap pihak boleh mengklaim menang, tetapi memenangkan jihad melawan nafs sangat sulit. Begitu nafs menguasai diri orang, jiwanya dipenuhi setan. Dia akan melakukan apa saja untuk memenuhi nafs akan hal-hal yang bersifat material, yang tak akan ada habisnya.

Atau karena ”yang lain” dianggap musuh?

Manusia berasal dari sumber yang sama. Bagaimana mungkin kita bisa mendefinisikan ”yang lain” sebagai musuh? Musuh terbesar manusia adalah nafs di dalam dirinya sendiri.

Islam menganjurkan perdamaian, cinta, dan harmoni. Islam adalah keikhlasan kepada Allah. Kalau kita sungguh ikhlas, artinya kita menerima seluruh ciptaan-Nya. Tuhan itu keindahan, Tuhan itu cinta dan belas kasih. Jadi, jangan membicarakan keburukan. Mari bekerja bersama-sama untuk kebaikan, perdamaian, cinta, dan harmoni di dunia.

Menolak ketakutan

Sumber kekerasan, seperti dikatakan Sheikh Bukhari, adalah ketakutan. Ketakutan membuat orang saling membenci, saling curiga, dan saling menyerang, entah mana yang memulai, dengan alasan apa pun.

”Ketakutan disebabkan ketidaktahuan tentang ’yang lain’ dan tak mau mengenal satu sama lain,” sambungnya.

”Oleh sebab itu, kita belajar saling memahami dengan duduk bersama. Bagaimana bisa saling mengerti kalau tak mau berkomunikasi? Bagaimana bisa menandatangani perjanjian perdamaian tanpa mau berbicara satu sama lain? Para pemimpin politik itu adalah orang-orang yang cerdas, berpendidikan, dan bijaksana. Mereka seharusnya bisa mencari jalan perdamaian untuk menyelesaikan persoalan.”

Ketakutan itu tecermin dalam pemberitaan media massa kedua pihak. Para analis media mengamati, media massa Israel menciptakan stereotip tertentu tentang Islam dan mengabaikan yang tidak cocok dengan stereotip itu.

Sementara di pihak Palestina, sensor yang ketat tidak memungkinkan munculnya ide atau gagasan yang bertentangan dengan pandangan para pemimpinnya. Media massa lebih terfokus pada kekerasan dan mengabaikan banyak peristiwa serta upaya-upaya perdamaian antarindividu.

Yang terjadi kemudian, seperti dikatakan Sheikh Bukhari, ”Membalas kesalahan dengan kesalahan tak akan membuatnya menjadi benar.”

Keniscayaan

Pihak yang lebih kuat dan memenangkan pertempuran, menurut Sheikh Bukhari, adalah mereka yang mampu menyerap kekerasan, kemarahan, dan kebencian dari ”yang lain”, dan mengubahnya menjadi cinta dan pengertian. Itulah jihad yang sesungguhnya.

”Tujuan kami adalah perdamaian dengan keadilan dan kehidupan yang layak bagi semua orang di Tanah Suci ini,” tuturnya. Untuk itulah ia kadang melakukan perjalanan ke berbagai negara untuk menyebarkan pesan bahwa perdamaian di Tanah Suci adalah sesuatu yang niscaya.

Perdamaian tanpa kekerasan tampaknya tidak mudah....

Sebenarnya ada banyak inspirasi di dunia ini. Apa yang telah dilakukan pemimpin Afrika Selatan, Nelson Mandela, membawa pesan jelas; bahwa perdamaian tak bisa dicapai dengan jalan kekerasan. Kita juga bisa melihat yang dilakukan para tokoh nonkekerasan seperti Dalai Lama, Mahatma Gandhi, Martin Luther King, dan Ibu Teresa.

Ibu Teresa adalah tokoh yang dikirim Tuhan untuk menyebarkan pesan tentang cinta kasih, dengan bekerja untuk kaum papa yang ditolak masyarakat. Perang tak hanya terjadi di medan pertempuran. Perang yang abadi terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Ibu Teresa tak punya uang. Ia juga tak punya kekuasaan, tetapi ia memiliki cinta kasih yang mampu meraih hati jutaan orang. Bagi saya, ia seperti orang suci. Ia membuka tangan dan hatinya untuk menolong siapa pun yang datang dan membutuhkan pertolongan.

Kalau kita meyakini cinta dan belas kasih melalui kerja-kerja sederhana di sekeliling kita, berarti kita ikut melakukan aktivitas perdamaian untuk mengubah dunia.

Apakah kelompok garis keras dari dua pihak mau mendengar pesan Anda?

Semua tidak terjadi dalam semalam. Tetapi, sekarang ini semakin banyak orang datang dan mendengarkan. Kalau dulu paling yang datang hanya belasan orang, saat ini ribuan orang datang. Kami mengajak lebih banyak orang untuk bersama-sama belajar saling memahami (Maria Hartiningsih)