Senin, 29 Maret 2010

Banjir Citarum: Dari Nadi Kehidupan Jadi Bencana Kehidupan


Oleh Siwi Yunita C dan Rini Kustiasih

Kebutuhan ekonomi manusia telah meminggirkan Sungai Citarum, sungai yang dari masa ke masa mengalirkan denyut nadi kehidupan di tanah Jawa. Citarum yang dahulu kala jadi kunci kejayaan peradaban kini menjadi sumber bencana.

Sinyal itu terlihat dari warna air Citarum yang berubah-ubah dari hulu ke hilir....

Dahulu Citarum sangat dimuliakan. Konsep pemuliaan sungai ini dianut kerajaan-kerajaan di Nusantara, bahkan bangsa besar di seluruh dunia untuk kepentingan peradaban mereka.

Purnawarman, raja yang membawa Tarumanegara berada pada masa keemasannya, sangat memerhatikan kondisi sungai-sungai di negerinya, termasuk Citarum. Yoseph Iskandar dalam bukunya Sejarah Jawa Barat menyebutkan Purnawarman tidak hanya memanfaatkan Citarum sebagai alat transportasi utama, tetapi juga memperdalam dan memperkokoh aliran sungai itu pada 419 Masehi.

A Sobana Harjasaputra dalam artikelnya yang berjudul Sejarah Citarum yang ditulis untuk Kelompok Riset Cekungan Bandung menuliskan, pada abad ke-17, hutan-hutan penyangga Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hingga Sungai Citarum selalu dijaga rakyatnya karena sungai menyediakan ikan bagi mereka.

Namun, seabad kemudian wajah Citarum berubah penuh dengan luka. Sungai sepanjang 226 kilometer yang melintasi Bandung hingga Bekasi ini tak lagi sedap di pandang mata.

Tidak butuh berkilo-kilometer dari hulu untuk melihat kerusakan Citarum. Dari jarak 500 meter dari sumber mata air Citarum, yakni Cisanti di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Sungai Citarum yang bening sudah berubah menjadi kehijauan karena limbah kotoran sapi dari peternakan warga. Sekitar 2 kilometer berjalan ke hilir, air berubah warna menjadi coklat keruh karena erosi ladang sayur di perbukitan.

Di hulu, tegakan pohon sangat langka ditemukan. Berdasarkan data Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar, luas lahan kritis di DAS Citarum hulu mencapai 142.146 ha dari 234.087 ha luas cekungan Bandung pada 2009. Menurut Ikhsan, Sekretaris Desa Tarumajaya, warga terus-menerus menanami punggung-punggung bukit dengan sayuran dan palawija. Mereka hidup sebagai petani makmur, setiap kali panen mereka bisa mendapatkan 35 ton kentang per ha, melebihi panen di tanah biasa yang hanya menghasilkan 20 ton per ha. Namun, kegiatan mereka menimbulkan erosi dan lama-kelamaan menggumpal menjadi lumpur.

Turun sekitar 25 kilometer dari Desa Kertasari menuju Majalaya, air Citarum berubah lagi menjadi dua warna. Di satu sisi berwarna coklat—hasil erosi—dan di sisi yang lain berubah kehitaman karena gorong-gorong pembuangan pabrik tekstil langsung menggelontorkan limbahnya ke Citarum.

Sampai di Dayeuhkolot, fungsi Citarum berubah menjadi sungai tempat pembuangan sampah. Tidak hanya plastik atau balok kayu, tetapi juga kasur, bangkai, hingga kotoran manusia.

Menurut Manajer Sipil dan Lingkungan PT Indonesia Power Pitoyo, setiap hari pihaknya selalu membersihkan sampah dan gulma air seluas 1,15 ha di pintu masuk Saguling, yang airnya berasal dari Citarum.

DAS Citarum yang seharusnya rimbun pun kini menjadi belantara bangunan. Berdasarkan data BPLDH Jawa Barat, setidaknya ada 542 pabrik yang berdiri di DAS Citarum, dan 73 persennya adalah pabrik tekstil. Sebanyak 7,9 juta jiwa pun menjejali DAS sungai tersebut.

Namun, di hilir pulalah manusia Citarum hidup dalam kepungan banjir. Ketika banjir, lumpur dan sampahlah yang masuk ke perkampungan warga yang berada di 100 meter sepanjang DAS. Rumah Iden, warga RT 6, Dayeuhkolot, bahkan terendam lumpur hingga 30 cm. ”Sudah dua minggu rumah saya penuh lumpur, baunya luar biasa busuk. Tidak ada barang yang selamat,” kata Iden yang tinggal 20 meter dari tepi Sungai Citarum di Dayeuhkolot.

Sampah berupa potongan kain hingga kasur pun nyasar ke rumah Wahgini yang berada 20 meter dari Sungai Citarum. Warga bahkan tak bisa mendapatkan air bersih. Air yang digunakan untuk kebutuhan makan dan minum kini berasal dari Sungai Citarum yang diendapkan dengan kaporit dan bahan lain. Air yang oleh warga dari hulu hingga hilir dicemari dengan 1.001 jenis sampah.

Dampak kerusakan Sungai Citarum pun meluas tak hanya dirasakan oleh 15.000 pengungsi yang hidup di tepian Sungai Citarum, tetapi jauh hingga ke kehidupan warga yang tak bersinggungan langsung dengan sungai tersebut.

Kerusakan Citarum bisa memengaruhi pasokan listrik nasional. Limbah industri dan domestik yang merusak baku mutu Citarum mengakibatkan korosi pada alat-alat dan mesin pembangkit listrik di Saguling. ”Mesin pendingin yang harusnya bisa berusia 15 sampai 20 tahun, kini hanya berumur 12 tahun,” kata Pitoyo.

Padahal, Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur—semuanya bergantung Citarum—menghasilkan daya listrik 5 miliar kilowatt per jam (kWh) atau setara dengan 16 juta ton BBM setahun untuk listrik nasional.

Citarum rupanya segalanya di Jabar. Lihat saja, roda perekonomian di Kabupaten Bandung kini tersendat setelah ribuan pabrik hancur terendam banjir dan jutaan buruh menganggur. Di Karawang, 961 hektar (ha) sawah dan 23.000 rumah juga luluh lantak terendam lumpur.

Memang, sebagian warga hulu Citarum di Tarumajaya mulai mengganti ladang sayuran dengan tanaman kopi, diselingi tanaman keras, tetapi itu baru 100-an ha. Masih 142.146 ha lahan milik rakyat yang harus dihijaukan lagi....

Jika kerusakan tak kunjung diperbaiki, inilah kiamat sebelum waktunya!(kps)