Selasa, 23 Maret 2010

Menghadapi UN seperti Akan Perang...


Purwoko (17) hanya bisa pasrah. Wajahnya murung. Siswa sebuah SMK di Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, ini badannya lemas. Ia gagal mengikuti ujian nasional hari pertama, Senin (22/3) kemarin.

Purwoko yang berstatus tahanan Pengadilan Negeri Wates itu tak kebagian soal Bahasa Indonesia. ”Padahal, saya sudah belajar dan berlatih soal selama dalam tahanan,” kata siswa jurusan Teknik Mekanik Otomotif ini yang ditahan karena kasus pencurian kendaraan bermotor sejak Februari lalu.

”Saya hanya ingin lulus ujian nasional dan segera bisa bekerja,” ujarnya dengan suara lirih.

Masih lumayan Purwoko mau belajar. Sejumlah siswa di Kabupaten Tanahbumbu, Kalimantan Selatan, dengan dalih ingin lulus, mengirim layanan pesan singkat (SMS) kepada guru mereka. Murid-murid itu menanyakan kalau-kalau mendapat bocoran soal.

”Saya bilang kepada mereka, ’Kalau ada bocoran soal, saya ditangkap polisi, kamu juga ditangkap polisi’,” kata Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Tanahbumbu Bakhriansyah

”Tak ada bocoran soal. Kami semua takut. Ada pengawas internal, ada pengawas eksternal, bahkan polisi,” kata Bakhriansyah.

Ketakutan itulah yang kini melanda sebagian dari 2,23 juta siswa SMA/SMK ataupun siswa madrasah aliyah (MA) peserta nasional. Hanya saja, ketakutan para siswa itu berbeda. Mereka takut tidak lulus nasional. Ketakutan dan kekhawatiran juga melanda guru ataupun kepala sekolah yang sama-sama menginginkan semua muridnya lulus ujian nasional.

Prestasi dan prestise

Kelulusan ujian nasional, bagi sejumlah guru dan kepala sekolah, dinilai bisa menunjukkan prestasi sekaligus prestasi mereka. Karena itu, beragam cara dilakukan untuk meningkatkan kelulusan murid-muridnya.

Sejak siswa masuk kelas XII, misalnya, dilakukan pelajaran tambahan di sekolah. Mengikuti bimbingan belajar yang dilakukan sejumlah siswa di luar jam sekolah dianggap tidak cukup. Karena itulah sejumlah sekolah menjalin kerja sama dengan penyelenggara bimbingan belajar untuk melakukan bimbingan belajar sekaligus uji coba (try-out) berkali-kali di sekolah.

Itu saja tidak cukup. Menjelang pelaksanaan UN, sejumlah sekolah melakukan doa bersama dengan mengundang pemuka agama. Ujian nasional seolah disakralkan.

Bukannya membuat siswa tenang. ”Kami malah menjadi tegang,” kata seorang siswa SMA di Yogyakarta. ”Meskipun sudah jauh-jauh hari disiapkan, tetap saja menghadapi ujian nasional bikin takut dan tegang,” kata Juwita, siswa jurusan IPS SMAN 1 Ciputat, Tangerang, Banten.

Sejumlah sekolah secara tidak sadar juga membuat siswanya tegang. Di SMA Negeri 6 Jakarta, misalnya, untuk memantau para peserta ujian dan mengantisipasi terjadi kecurangan, SMA Negeri 6 Jakarta menggunakan sembilan unit CCTV yang dipasang di dalam lingkungan sekolah, terutama di lokasi-lokasi yang diduga rawan.

Kepala Sekolah SMAN 6 Kadarwati Mardiutama mengaku, hanya dirinya yang tahu lokasi-lokasi CCTV itu. ”Siswa dikawal hingga ke toilet. Ada penjaga di sana yang memeriksa siswa apakah ditemukan jawaban soal atau tidak,” kata Kadarwati.

Maksud baik ini bagi sejumlah siswa malah membuat suasana tegang. Ketegangan itu bertambah ketika adik-adik kelas mereka juga menilai ujian nasional sesuatu yang istimewa. Di SMA Negeri 1 Ciputat, misalnya, terpasang spanduk, ”Selamat berjuang Kak...,” menjelang pelaksanaan ujian nasional. Menghadapi ujian nasional seperti menghadapi perang....

Wajar saja

Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal mengatakan, sebenarnya UN tidak perlu disakralkan secara berlebihan. Namun, UN sering kali dianggap jadi simbol prestasi sekolah sehingga persiapan sekolah menghadapi UN jadi all out.

S Hamid Hasan, ahli evaluasi pendidikan dari Universitas Pendidikan Bandung, mengatakan, UN menjadi momok buat siswa, guru, dan sekolah karena UN dianggap sakral. Keberhasilan mencapai nilai-nilai UN yang tinggi dianggap keberhasilan yang lebih penting daripada proses menjadikan siswa paham apa yang dipelajari.

”Yang mesti dikejar mestinya bagaimana memastikan semua siswa mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai standar nasional dulu. Bukan meminta siswa mencapai standar nasional dengan ketimpangan pendidikan yang masih tinggi.

Akibatnya, siswa disiapkan dengan cara didril. Makna belajar yang menyenangkan dan evaluasi untuk memastikan bahwa pembelajaran sudah dilakukan dengan cara yang tepat jadi tidak berarti,” kata Hamid.(kps)