Oleh : Randy PF Hutagaol
Sinyalemen krisis lingkungan hidup global ditandai fakta fenomena pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change), secara ekstrem dan signifikan telah mempengaruhi kesinambungan kehidupan manusia abad ini.
Keniscayaan sejarah menunjukkan peradaban manusia senantiasa dinamis dan mengalami kemajuan pesat dari zaman ke zaman khususnya di era industri ini.
Namun seiring dengan hal tersebut secara akumulatif ketika aktifitas masyarakat dunia berlebihan khususnya di kawasan negara yang mengalami industrialisasi telah menuai masalah global, yaitu perubahan iklim global.
Pemanasan global menjadi isu dunia sebab dianggap sebagai ancaman serius abad ini. Betapa tidak, pemanasan global sebagai akibat dari efek rumah kaca telah meningkatkan temperatur permukaan bumi dari tahun ke tahun.
Dalam batasan normal, secara alami atmosfer bumi memiliki lapisan gas rumah kaca seperti gas karbondioksida (CO2), dinitrooksida (N2O) dan metana (CH4) untuk mengatur suhu rata-rata bumi yang bermanfaat bagi kesinambungan kehidupan dan mencegah sinar radiasi matahari langsung. Masalah muncul ketika aktifitas manusia berlebihan, memberi kontribusi intens peningkatan unsur gas ‘Rumah Kaca’.
Tentunya pemanasan global tidak mengenal batas negara ataupun wilayah sebab esensi permasalahannya global. Bahkan dampaknya menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan antar-manusia ataupun antar-negara.
Dalam hal ini negara maju dan negara berkembang. Namun bila merunut dari awal dan melihat data bahwa negara-negara industri seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Inggris dan Jepang merupakan penyumbang emisi terbesar. Kesadaran yang diikuti oleh Protokol Kyoto, kiranya ditindaklanjuti komitmen dalam bingkai tindakan konkrit yang serius dan konsisten. Hal ini tanpa bermaksud menafikan peran Negara-negara berkembang hanya saja porsinya berbeda.
Oleh karena itu, muara krisis dan masalah pemanasan global ini harus menarik garis struktural terkait kebijakan kondusif internasional dan nasional, urgensi dan orientasi kemanusiaan yang dihadapkan pada kita tanpa terkecuali. Dan secara kultural melalui budaya masyarakat dan kesadaran setiap individu akan kelestarian lingkungan. Pada titik inilah, pemanasan global dengan kompleksitasnya menuntut responsibilitas internasional, nasional dan lokal (individu).
Skala Internasional
Dengan asumsi logis bahwa pengemisi terbesar adalah negara-negara industri yang menggiatkan pertumbuhan ekonominya melalui industrialisasi, terutama AS yang menyumbangkan hampir seperempat emisi bagi bumi, diikuti China, Inggris, Rusia, Kanada, Jepang.
Ketimpangan iklim dunia lebih disebabkan aktifitas industri berlebihan secara akumulatif memberi kontribusi besar peningkatan pelepasan gas ‘Rumah Kaca’. Sementara itu negara-negara berkembang dan miskin menjadi imbas ketidakadilannya.
Disebutkan demikian sebab meskipun persentase kontribusi gas ‘Rumah Kaca’ relatif kecil tapi justru merasakan kerusakan lingkungan yang lebih fatal. Sebut saja Indonesia, yang mengalami kerusakan ekosistem laut seperti pemutihan terumbu karang oleh panas suhu bumi.
Hal itu diperparah lagi oleh maraknya penyakit saluran pencernaan karena keterbatasan dalam pengelolaan lingkungan. Hal ini tentunya tidak jauh beda dengan situasi-situasi di negara-negara berkembang lainnya. Sumber daya manusia dan kurangnya akses teknologi menjadi kendala utama.
Revitalisasi Protokol Kyoto dan Konferensi ke-13 Para Pihak Pada Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim kiranya bentuk keseriusan total sebagai solusi kesepakatan internasional.
Dalam hal ini negara-negara industri tidak sekedar dituntut hanya untuk mengurangai emisi gas di kawasannya saja. Lebih dari itu kompensasi yang diberikan terkait urgensi kebutuhan negara-negara miskin adalah akses teknologi penghijauan dan juga kucuran dana untuk adaptasi lingkungan.
Peran Pemerintah dan Swasta
Publik dibuat terhenyak ketika di awal pemerintahan KIB jilid 2, pembangunan nasional diletakkan pada dua prioritas; perkebunan dan pertambangan. Selain tidak menunjang kesejahteraan rakyat, karena pada dasarnya hanya sedikit ruang bagi terciptanya lapangan pekerjaan. Kedua sektor tersebut memiliki kontribusi besar dalam merusakkan alam.
Tidak sedikit fakta yang menunjukkan hal tersebut. Beberapa daerah pertambangan di Indonesia selalu menawarkan janji menyejahterakan kehidupan rakyat di sekitar pertambangan, kenyataan yang terjadi selalu bertolak belakang. Alih-alih demikian, justru merusakkan rona dan bentang alam dan meninggalkan ragam penyakit. Selesai melakukan eksploitasi bahan galian, ditinggal begitu saja tanpa ada upaya perbaikan lingkungan pada saat penutupan tambang.
Hal di atas hanya secuil bukti ketidakseriusan pemerintah. Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia permaslaahan lingkungan memang cukup dilematis. Antara kepentingan ekologis dan kepentingan ekonomis. Ironisnya, kepentingan ekonomis lebih sering mendominasi.
Hal ini juga didukung dengan semakin menguatnya ideologi developmentalisme yang sangat berpengaruh dalam pengambilan kebijakan, termasuk kebijakan lingkungan. Misalnya, kebijakan pembangunan yang jauh dari semangat pelestarian lingkungan.
Kebijakan dalam bentuk apapun itu harus berorientasi pada pencarian upaya-upaya penyelesaian kerusakan dan menjaga kelestarian lingkungan. Menemukan faktor penyebab utama serta mencari solusinya. Kebijakan yang tepat bagi upaya penyelamatan lingkungan hidup jangka panjang.
Selain itu, upaya pelestarian dan pengelolaan harus menekankan pembaharuan pada aspek manusianya, bukan sekedar upaya-upaya superfisial dan jangka pendek. Hal ini tidak bermaksud menafikan langkah-langkah taktis, semisal reboisasi, penegakan supremasi hukum, pengawasan yang lebih ketat dan sejenisnya.
Secara jangka panjang, perlu juga dipikirkan langkah-langkah mengubah paradigma masyarakat bahwa lingkungan bukan sekedar tempat kita tinggal saja, tempat mengeruk hasil alam bagi kebutuhan hidup. Akan tetapi juga peruntukkannya jauh ke depan, bagi anak cucu kita kelak. Hal ini dapat dilakukan melalui sosialisasi semacam pendidikan-penyadaran tentang pentingnya ekologi.
Jika tidak ada perubahan pola pikir, pola sikap, dan pola tingkah laku manusia, maka tidak akan ada perubahan mendasar bagi upaya pelestarian. Sepanjang itu pulalah upaya-upaya taktis tersebut akan sulit berhasil.
Seiring dengan itu pengembang swasta khususnya yang bergerak di bidang properti hendaknya menjadikan tema ramah lingkungan sebagai visi pembangunan properti. Pembangunan perumahan, perusahaan, dan bangunan-banguanan elit lainnya harus memperhatikan indikator properti ramah lingkungan.***
Penulis aktif di Perhimpunan Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut (Bakumsu) dan KDAS. (ans)
Media Komunikasi -- berita dan kebijakan persyarikatan -- Guna Meningkatkan Syiar Organisasi
Sabtu, 05 Juni 2010
Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni ; Responsibilitas terhadap Krisis Lingkungan Global
Label:
Info Lingkungan