Rabu, 30 Juni 2010

MUKTAMAR MUHAMMADIYAH: PERAN PEMBARU TIDAK MENONJOL LAGI


YOGYAKARTA - Luasnya cakupan perjuangan dan amal usaha Muhammadiyah makin menjebak pimpinan Muhammadiyah dalam kemapanan. Akibatnya, citra Muhammadiyah sebagai agen pembaruan tidak lagi menonjol. Organisasi dan pergerakan Muhammadiyah terjebak dalam rutinitas yang melucuti semangat pembaruan.

Hal itu dikemukakan dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Purwo Santoso, dalam seminar dan diskusi dengan tema ”Muktamar Muhammadiyah 2010: Kepemimpinan Baru” di Yogyakarta, Selasa (29/6).

Diskusi ini juga menghadirkan pembicara dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah Zuly Qodir dan M Sukriyanto. Muktamar Muhammadiyah digelar 3-8 Juli di Yogyakarta.

Purwo mengibaratkan, agenda pembaruan Muhammadiyah tak beranjak jauh dari pemberantasan penyakit TBC. Padahal, persoalan yang dihadapi umat telah beranjak jauh. Muhammadiyah lebih terfokus pada layanan kesejahteraan yang penyelenggaraannya sebetulnya merupakan tanggung jawab negara, seperti sekolah ataupun rumah sakit. ”Muhammadiyah terjebak dalam pengambilalihan fungsi negara,” ujar Purwo.

Menurut Purwo, pembaruan organisasi dan manajemen gerakan dalam muktamar menjadi agenda yang lebih penting dibandingkan sekadar memperbarui pucuk kepemimpinan.

Sosok kepemimpinan Muhammadiyah mendatang harus menghadirkan kepemimpinan ide, bukan kepemimpinan figur. ”Tanpa transformasi manajemen gerakan, Muhammadiyah dikhawatirkan akan terus terjebak dalam kemapanan,” ucapnya.

Syahwat politik

Muktamar Muhammadiyah, menurut Zuly Qodir, perlu secara tegas merumuskan komitmen Muhammadiyah untuk tak akan berpolitik praktis dan tidak menyerahkan kepemimpinannya kepada para warga Muhammadiyah yang syahwat politiknya tinggi.

Muhammadiyah harus mencukupkan diri pada pengalaman Pemilu 1955 ketika menjadi anggota istimewa Masyumi dan tiga kali terlibat dalam pemilu era reformasi tahun 1999, 2004, dan 2009.

Muhammadiyah diharapkan menjaga jarak dengan kekuasaan dan partai politik. Menurut Zuly, Muhammadiyah memang tetap harus memainkan peran dalam berpolitik, tetapi politik kebangsaan, bukan partisan politik dalam aksi dukung-mendukung kepada salah seorang calon.

Sejak awal, Muhammadiyah mencita-citakan adanya masyarakat Islam yang sebenarnya, bukan negara Islam.

Anggota Majelis Pendidikan Tinggi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Munir Mulkhan, secara terpisah, juga menilai, organisasi Islam yang saat didirikan menjadi pelopor pembaruan sosial itu justru semakin terasing dari masyarakat. Pada masa lalu, kader dan aktivis Muhammadiyah punya komitmen besar terhadap gerakan sosial dan pembaruan yang membuat mereka relatif mandiri terhadap kekuasaan.

”Akhir-akhir ini, Muhammadiyah mulai terperangkap pada isu kekuasaan yang membuat gerakan ini kurang peduli terhadap nasib mereka yang terpinggirkan, baik karena persoalan ekonomi maupun budaya,” kata Munir.

Persiapan muktamar

Selain persiapan pada tataran wacana, Koordinator Media Center Muktamar 1 Abad Muhammadiyah Widiyastuti juga menuturkan, saat ini persiapan pelaksanaan muktamar sudah prima. Persiapan lokasi, transportasi, keamanan dan pengamanan, hingga fasilitas teknologi informasi telah disempurnakan.

Muktamar Muhammadiyah akan dilangsungkan bersamaan dengan Muktamar Ke-46 Aisyiyah dan Muktamar XVII Ikatan Pelajar Muhammadiyah, pekan depan. Karena itu, muktamar diperkirakan akan menarik lebih dari satu juta orang ke Yogyakarta.

Menurut Widiyastuti, sejumlah sekolah negeri dan sekolah Muhammadiyah akan difungsikan sebagai tempat menginap bagi peserta muktamar.

Untuk pengamanan selama muktamar, Kepala Kepolisian Daerah DIY Brigadir Jenderal (Pol) Sunaryono mengatakan, polda menggelar operasi pengamanan mandiri kewilayahan, 1-9 Juli. (WKM/ARA/RWN/mzw/KPS)