Rabu, 23 Juni 2010

RUANG TERBUKA HIJAU: SUDAH BANJIR MASIH ABAI JUA ?


Supriyadi membenahi keramik di muka rumahnya, Senin (21/6). Tanah seluas 200 meter di kawasan Cempaka Putih itu penuh dengan bangunan. Sebagian besar tanah dijadikan dua rumah kontrakan, sedangkan dia menempati sepetak bangunan. Tidak ada ruang terbuka hijau alias RTH di tanah milik Supriyadi itu. Agnes Rita Sulistyawaty

Untuk penghijauan, dia memilih menaruh tanaman di pot. ”Lebih baik seluruh tanah dipakai untuk bangunan. Rumah disewakan, saya dapat penghasilan Rp 700.000 per bulan. Kalau dijadikan taman, saya tidak dapat apa-apa,” ucap Supriyadi.

Ia lebih mementingkan urusan ekonomi ketimbang menambah RTH. Supriyadi tidak sendiri. Di Jakarta ini sangat mudah mendapati sepetak tanah penuh bangunan.

Kondisi itu memprihatinkan karena RTH selama ini bertumpu pada ruang publik semacam taman. Alhasil, luas RTH di Jakarta kini hanya 9,6 persen dari luas wilayah atau naik tipis ketimbang tahun 2000 yang seluas 9 persen. Dalam RTRW 2000- 2010, target RTH 13,9 persen. Target dalam UU Lingkungan Hidup RTH 30 persen.

Sudah habiskah lahan untuk RTH? Data dari citra satelit menunjukkan, 33 persen dari wilayah Jakarta masih berpotensi sebagai RTH. Dari jumlah itu, 15 persen adalah RTH privat dan 18 persen RTH publik.

Langganan banjir

Di sisi lain Jakarta, banjir dan rob menjadi langganan Ibu Kota. ”Banjir? Rob? Itu biasa. Setiap hari juga rob,” kata Fatimah (58), warga RT 03 RW 07 Marunda, Cilincing, Jakarta Utara.

Fatimah bahkan kehilangan tambaknya yang berjarak 100 meter dari rumahnya. Tambak bandeng itu hilang tertelan laut karena abrasi. ”Sekarang tinggal giriknya,” kata Fatimah yang 23 tahun bermukim di situ.

Surutnya RTH—yang punya fungsi antara lain sebagai penampung resapan air—membuat air di bawah tanah Ibu Kota kian susut. Kondisi ini menyebabkan permukaan tanah turun setiap tahun. Penurunan permukaan tanah terparah terjadi di Jakarta Utara, yakni 4-8 cm per tahun, diikuti Jakarta Barat 4-6 cm per tahun, dan Jakarta Pusat 4 cm per tahun.

Maka, banjir air pasang alias rob kian tahun kian parah. Gerusan air laut yang pelan tetapi pasti membuat rumah Fatimah yang semula berjarak 100 meter dari pantai kini berada persis di bibir pantai.

Awal Januari 2010, keganasan rob sedikit terkendali karena ada tanggul dari batu. Malam hari, tanggul batu itu tidak terlihat karena tertutup air laut.

”Kalau tidak ada tanggul, mungkin rumah saya juga makin tergerus,” ujar Fatimah.

Selain rob, banjir lima tahunan juga makin parah. Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, mencatat, banjir menggenangi sekitar 60 persen wilayah Jakarta tahun 2007. Pada tahun 2002, banjir menggenangi sekitar 50 persen wilayah Jakarta.

Urusan banjir dan rob belum termasuk ”biaya” kesehatan karena kualitas udara di Jakarta yang kian buruk seiring minimnya pepohonan.

Pemerintah pesimistis

Menghadapi karut-marut lingkungan Jakarta yang sedemikian rupa, belum ada terobosan besar dari pemerintah untuk menambah RTH. Nada pesimistis akan penambahan RTH—terlebih atas RTH privat—mengemuka dari Kepala Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan Jakarta Selatan Widiyo Dwiyono.

Ia berpendapat, aturan Perda Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah DKI 1999-2010 menyebutkan, koefisien dasar bangunan di Jakarta Selatan berlaku 20 persen. Artinya, setiap 100 meter persegi, pemilik hanya boleh membangun bangunan 20 meter persegi. Hal ini hampir tidak dapat ditemui di Jaksel.

”Saya kesulitan memberlakukan perda itu karena terlalu banyak pelanggaran sehingga perlu solusi baru. Jika aturan ini benar-benar ditegakkan, saya khawatir muncul persoalan sosial di masyarakat,” katanya.

Salah satu contoh pelanggaran RTH privat di Jakarta Sela- tan itu terjadi di kawasan Mampang. Kawasan itu terlalu padat dengan permukiman penduduk dan pusat bisnis. Di kawasan ini, sulit ditemui pemukim yang menyediakan lahan untuk RTH.

Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Catharina Suryowati berencana menambah RTH dengan membeli tanah milik warga. Jika ada lahan seluas 200 meter persegi hingga lebih dari 1 hektar di tengah permukiman, mereka bersedia membeli tanah untuk dijadikan taman interaktif atau taman kota.

”Target kami membangun satu atau dua taman interaktif di setiap kelurahan. Kini baru ada 88 taman interaktif di 267 kelurahan di Jakarta,” katanya.

Dinas pertamanan mengefektifkan penanaman pohon di berbagai lahan terbuka untuk meningkatkan daya dukung lingkungan. Jadi, kapan luas ideal RTH di Jakarta tercapai? Jangan-jangan seluruh Jakarta keburu kelelep banjir. (Caesar Alexey/Andy Riza Hidayat/M Clara Wresti)