Selasa, 20 Juli 2010

ARTIKEL LINGKUNGAN: LEUSER UNTUK SIAPA ?


Oleh: Yusra Habib Abdul Gani

DI BELAHAN planet kita, terdapat kawasan hutan Leuser yang selain menyimpan biji uranium, aneka-ragam fauna dan flora, juga dikenal sebagai salah satu khazanah ekosistem yang dipercayai mengandung zat natural yang secara reguler menyembur ke angkasa lepas, menyedot dan mampu meleburkan melekul-molekul Co2 yang berasal dari asap industri yang memengaruhi dan sekaligus membahayakan kestabilan cuaca dunia.

Kajian tentang keutamaan ekosistem Leuser sudah lama dilakukan, hingga kemudian disadari betapa arti pentingnya kawasan ini yang berfungsi sebagai paru-paru dunia sekaligus sebagai baji untuk memperkokoh bumi berpijak agar terhindar dari malapetaka menimpa alam dan suhu udara panas yang mengerikan. Jadi, kawasan hutan Leuser bukanlah kawasan hutan lindung biasa yang lazim terdapat di beberapa negara. Itu sebabnya, di era rezim Orde Baru, Bob Hasan si penjahat hutan (forest criminalist) tidak leluasa beroperasi di hutan Leuser karena pada akhirnya nanti, dia akan berurusan dengan kekuatan atau kepentingan politik internasional.


Tegasnya, yang membedakan antara struktur ekosistem hutan Lueser dengan ekosistem hutan lainnya ialah karena zat natural tadi, tidak dijumpai di hutan-hutan seluruh dunia, termasuk di kawasan hutan Amazon sekalipun. Kawasan Leuser memang harus diselamatkan dari tindakan perusak dan illegal logging, yang bisa mereduksi zat natural yang mengagumkan ini. Artinya, jika daya kekuatan zat ini melemah atau tak bisa bernafas lagi karena penggerogotan hutan Leuser secara berlebihan dan kadar kepadatan Co2 di udara terus berlipat ganda, maka bisa dipastikan terjadi ketidakseimbangan cuaca-suhu udara dunia panas secara drastis-yang bisa melecurkan kulit, terutama bagi penduduk di Eropa dan USA.

Memandang pentingnya peranan kawasan Leuser, maka penerangan kepada penduduk setempat sangat perlu dan koordinasi dalam pengelolaan yang melibatkan peran serta pemerintah daerah, masyarakat lokal dan dunia internasional. Seharusnya Irwandi Yusuf Cs, yang turut hadir dalam konferensi cuaca dunia yang dimotori PBB di Copenhagen akhir tahun 2009, yang bertekad memperbaharui konvensi Kyoto, Jepang, yakni supaya kadar kepadatan Co2 di planet kita diturunkan, harus menjelaskan kepada rakyat Aceh, khususnya kepada penduduk yang tinggal di bibir Leuser tentang pentingnya pemeliharaan dan pengawasan ekosistem Leuser dalam hubungannya dengan perubahan cuca dunia.

Kita jangan hanya terpaku kepada aspek keselamatan alam, perubahan cuaca dunia dan keselamatan nyawa manusia di benua lain; sementara itu menipu, membodohkan dan menzalimi rakyat sendiri. Rakyat awam yang tinggal di sekitar Lesuser, sebelum ini-mungkin juga hari ini, besok dan lusa-tidak tahu sama sekali apa arti kadar kepadatan Co2 dan perubahan globalisasi cuaca dunia. Yang tahu, kalau tanah mereka sudah dirampas demi kemaslahatan umum. Tidak memberi penerangan dan mendidik rakyat, sama artinya dengan melakukan kejahatan intelekual terhadap ekosistem Leuser secara sistematis.

Dalam konteks ini, ada hikmah yang bisa dipetik dari benturan kecil yang terjadi antara Forum Bersama Mahasiswa Poros Leuser dan peduli Amazon, Brazil versus Yayasan Leuser Internasional (YLI), pada 19 Mei 2010; setidak-tidaknya dari riak konflik sosial ini tersibak rahasia bahwa apa isu yang muncul ke permukaan tidak berarti apa-apa, dibandingkan dengan praktik kejahatan terselubung menimpa Leuser yang dilakukan kalangan intelektualis atas nama peduli lingkungan hidup.

Adalah benar demonstrasi yang dilakukan mahasiswa telah menurunkan dan mencederai spanduk YLI dan disertai kemudian dengan “penyegelan terhadap kantor Yayasan Leuser Internasional (YLI) yang berada di kawasan kampus di Darussalam, Banda Aceh. (The Globe Jurnal, Sabtu, 19 Juni 2010). Akan tetapi, masalah yang mahapenting adalah argumentasi yang dibentangkan forum ini perlu disambut secara bijak, disimak, dikaji dan perlu diuji kebenarannya oleh pihak YLI. Misalnya, suara forum yang mempertanyakan status Aceh Forest and Environment Project (AFEP), suatu proyek penyelamatan lingkungan dan hutan Aceh di kawasan ekosistem Leuser dan Ulu Masen, di mana YLI telah diberi mandat melaksanakan proyek ini dengan cucuran dana bernilai USD 17,5, untuk rentang masa 5 tahun (sejak tahun 2006-2010.) Dari dana ini, sebesar USD 9,8 juta dikelola oleh YLI dan sebesar USD 7,7 juta dipercayakan kepada Fauna Flora Internasional (FFI)

Forum berpendapat bahwa kontrak proyek antara YLI dan World Bank (TF Grant No.56197, tanggal 17/02/2006), didapati ketidakseimbangan dalam pengalokasian dana. Misalnya, peruntukan bagi pekerja sipil US$ 390.000; pengadaan barang US$ 3.100.000; pelatihan dan workshop US$ 940.000; jasa konsultan) US$ 3.580.000; biaya operasional US$ 1.150.000; dan biaya hibah US$ 660.000. Total US$ 9.810.000. Di sini nampak jelas bahwa, dana operasional meliputi; gaji staf, biaya perjalanan, peralatan rental dan pemeliharaan, operasional kendaraan, pemeliharaan dan perbaikan, rental kantor dan pemeliharaan, pengadaan barang dan peralatan serta biaya komunikasi. Artinya, sebagian besar dana proyek hanya ditujukan untuk kesejahteraan pekerja bukan untuk upaya penyelamatan hutan dan kesejahteraan penduduk sipil yang tidak dibenarkan mengelola tanahnya di kawasan Leuser, dengan dalih “ini hutan lindung”. Bayangkan, hanya US$ 660.000 (Rp 6,6 miliar) yang dihibahkan ke LSM dan rakyat Leuser.

Diakui bahwa, YLI memang telah mengembangkan pemberdayaan ekonomi masyarakat Leuser berupa pengembangan kolam ikan nila di Kampung Pisang, Labuhan Haji, Aceh Barat Daya, dan mengembangkan perkebunan anggrek di wilayah Leuser. Tapi, sebandingkah dana sebesar Rp 98 miliar, sementara rakyat Leuser hanya mendapat 3 hektare lebih kolam ikan dan kebun anggrek? Apalagi, seorang Manajer Ekosistem digaji sebesar Rp 50 juta/bulan atau Rp 2,4 miliar untuk priode 4 tahun kerja (2006-2009).

Pada tahun 1995-2002, melalui Unit Manajemen Leuser, YLI pernah juga menikmati dana sebesar US$ 30 juta dari Uni Eropa. Dalam realitasnya, dana ini dinilai belum tepat guna. Ini terbukti, YLI menghambur uang dan berpoya-poya dengan fasilitas kenderaan mewah, membeli 2 unit pesawat terbang, membangun kantor megah di Medan dan Jakarta, menghabiskan dana untuk membayar biaya konsultan, gaji staf dan pengurus YLI. Diketahui bahwa, dari 2,5 juta hektare kawasan Leuser, 80% berada di Provinsi Aceh, tetapi kantor pusat YLI tidak dipusatkan di Aceh Tenggara, Gayo Lues atau Aceh Selatan.

Jadi, suara minor yang menggedor kesunyian YLI selama ini, merangsang orang bertanya, Leuser Untuk Siapa? Jangan terlalu lama berendam dalam kolam konflik ini. Sadarlah bahwa, Leuser itu anugerah Allah kepada kita dan manusia adalah pereka masalah. Apapun masalah tetap harus diselesaikan lewat dialog dan kekeluargaan, bukan mengandalkan pendekatan hukum semata-mata.

* Penulis adalah Direktur Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark.