Kamis, 22 Juli 2010

Banyak Pilihan Perubahan Iklim Akan Tentukan Keadaan Dunia pada 2030


Berbagai upaya global untuk mengatasi kelaparan kronis dan penyakit yang diderita lebih satu milyar orang bisa saja sia-sia kecuali jika dipadukan dengan langkah mengatasi perubahan iklim.
Pilihan-pilihan yang diambil banyak pemerintah dan dunia usaha dewasa ini tentang cara-cara menghadapi pemanasan global akan menentukan keadaan di dunia pada 2030, ungkap sebuah laporan yang memaparkan bermacam skenario masa depan.

"Tanpa tindakan segera, perubahan iklim mengancam merusak hasil kerja bertahun-tahun dalam perjuangan mengentaskan kemiskinan di negara-negara berkembang," ujar Stephen O’Brien, menteri pembangunan internasional Inggris.

Berjudul The Future Climate for Development, laporan hasil studi yang didukung pemerintah tersebut memprediksi negara-negara berpenghasilan kecil akan terpukul lebih dulu dan paling keras oleh berbagai dampak terkait iklim apapun yang dilakukan negara-negara besar.


Empat visi yang dipaparkan dalam laporan tersebut tampaknya dapat dijalankan, dan tak satupun pahit atau cerah.

Namun bagi warga paling rentan di dunia, keputusan-keputusan salah di Washington, Beijing dan Brussel bisa saja menimbulkan perbedaan antara kemakmuran sedangan dan penderitaan parah dalam 20 tahun ke depan.

Dalam skenario pertama, sejumlah negara miskin tapi kaya sumber daya bisa makmur pada 2030 saat dunia terus melewati jalan pembangunan penuh asap dan karbon.

Menderita

Namun bila penurunan emisi gas rumah kaca jadi hal wajib di planet ini maka negara-negara rapuh ini bisa saja paling menderita nantinya.

Sebuah perjanjian iklim tahun 2026 menyerukan sanksi-sanksi berat -- bahkan intervensi militer -- bagi negara-negara yang terlalu banyak menyemburkan CO2, dan PBB memprioritaskan upaya untuk menemukan perbaikan teknis dalam menghadapi kenaikan suhu udara.

Negara-negara Afrika yang mengikuti jejak pembangunan Barat kini menuntut agar negara-negara kaya -- termasuk China -- membayar suatu "utang karbon." Dunia kini dipenuhi pengungsi iklim.

Skenario "bisnis seperti biasa" lainnya, bernama "coping alone," (atasi sendiri) melihat komunitas global terurai di tengah kemandekan ekonomi setelah suatu perang Timur Tengah mendorong harga minyak naik di atas 400 dolar per barel.

Upaya memperlamban pemanasan global telah ditinggalkan dan bantuan pembangunan pada umumnya terhenti sehingga menyebabkan negara-negara termiskin dan kekurangan sumber daya kewalahan mengurus diri sendiri.

Sejumlah negara telah bergabung dengan blok-blok regional sementara lain-lainnya terkotak-kotak jadi faksi-faksi yang saling berperang.

Keamanan pangan kini merupakan perhatian besar di seluruh dunia, dan vegetarianisme jadi sebuah gerakan moral global.

Layak

Visi "bagus lebih besar" menempatkan sebuah dunia di mana kelangkaan mendorong manajemen sumber daya kelolaan negara di negara-negara miskin tak cuma dalam urusan energi tapi juga air, pangan dan akses ke tanah yang subur.

Bila dilakukan secara adil maka sebagian besar penduduk akan bisa hidup layak.

Namun ongkos kebebasan individual itu mahal: pengendalian kelahiran jadi kewajiban, kartu identitas untuk memantau konsumsi sumber daya individu, perusahaan-perusahaan harus menjual jasa untuk membantu rakyat tetap bertahan dalam kuota karbon.

Berbagai produk yang mengutamakan "integritas ekosistem" kini bukan trend lagi melainkan kebutuhan.

Di Afrika dan Euroasia, serangga-serangga telah menggantikan daging sebagai sumber utama protein bagi ratusan juta orang.

Ketegangan antara blok-blok sumber daya rival, yang bermula dari perbatasan pasca kolonial, jadi meningkat, sehingga berkembali jadi konflik sengit.

Akhirnya, akan ada "era peluang," satu-satunya skenario di mana negara-negara berpendapatan kecil bisa dikatakan telah makmur.

Didukung oleh pungutan 0,05 persen dari transaksi keuangan internasional, negara-negara yang sebelumnya miskin telah memprakarsai suatu revolusi karbon rendah dan melampaui teknologi karbon tinggi.

Afrika yang bersimbah sinar matahari dan berbagai daerah di Asia Tengah menyediakan 40 persen dari energi surya di dunia.

Banyak perusahaan multinasional memindahkan operasi-operasi mereka ke negara-negara miskin karena tertarik dengan tenaga kerja murah dan energi karbon rendah.

Gaya hidup konsumsi tinggi ala Barat sudah kuran atraktif, dan di banyak negara kekuatan bergeser ke daerah-daerah dan komunitas, kadangkala mendatangkan bermacam manfaat, tapi juga menyebabkan pengendalian dipegang oleh para mafia dan panglima perang lokal.

Koperasi-koperasi bersaham kecil terkait jaringan pasokan global telah menjadi model pertanian yang dominan.

Budaya di Afrika kini berkembang pesat -- Festival Film Mali mendapat liputan luas Web (Inernet) sama seperti Cannes.

Diambil dari lebih 100 pakar seluruh dunia, laporan tersebut dipersiapkan oleh NGO Forum for the Future. (afp/bh/ans)