Kamis, 22 Juli 2010

Bila Terbuka, Berbudaya, Muhammadiyah Akan Segar dan Tidak Membosankan


Malang – Umur satu abad Muhammadiyah menurut Prof. Dr. Syafiq Mughni, MA, salah satu anggota PP Muhammadiyah yg baru saja terpilih, seharusnya menjadi sebuah budaya baru melalui proses asimilasi dan akulturasi budaya.

”Sehingga, mari kita jadikan Muhammadiyah sebagai budaya baru lewat asimilasi dan akulturasi budaya, lewat kajian pengetahuan yang sudah teruji intelektualitasnya untuk pencerahan umat kita,” ungkapnya, Sabtu (15/05/2010) pada acara “Muhammadiyah Update” di Kampus Univ. Muhammadiyah Malang (UMM) bertema : Muhammadiyah dan Pertarungan Identitas Budaya Kontemporer.

Seperti yang dimuat dalam website www.umm.ac.id, Syafiq mengungkapkan bahwa adalah mungkin peradaban antara Islam dan Barat terjadi proses asimilasi. Dari beberapa unsur tergabung menjadi satu kemudian menjadi budaya baru yang mencerahkan. Proses akulturasi ini kemudian akan menjadi budaya yang dominan.



Menurutnya, bila Muhammadiyah melakukan hal diatas, langkah ini adalah proses Islamisasi pada wilayah baru, sehingga dengan demikian Muhammadiyah menjadi organisasi yang baru, segar dan tidak membosankan.

Manusia Kosmopolitan

Sementara itu Guru Besar Univ. Muhammadiyah Malang (UMM), Prof. Dr. Syamsul Arifin, M. Si, mengutip pemikiran dari seorang ahli asal Amerika, James Peacock tentang Muhammadiyah yang dinilainya sebagai kelompok terbuka dalam menerima kebudayaan dari luar.

Dinilainya, bahwa organisasi yang berkembang pesat pada era 70-an ini pernah menjelma sebagai gerakan yang tidak terikat pada otoritas, yang merupakan representasi dari manusia modern. Sehingga, orang Muhammadiyah bisa disebut kosmopolitan.

Namun Syamsul Arifin menyatakan bahwa perlu menguji apakah kekuatan budaya itu sudah melekat atau tidak. Karena, Muhammadiyah dinilai Syamsul mengalami infiltrasi idiologis. Fenomena tersebut dapat dilihat dengan mengubah kepribadian Muhammadiyah yang inklusif ke arah eksklusif.

Perubahan budaya dari kosmopolitan menjadi eksklusif tersebut sangat berdampak pada perkembangan amal usaha Muhammadiyah yang tidak dinamis. “Di sisi lain, dunia pendidikan Muhammadiyah tidak lagi menjadi pemain yang diperhitungkan dan kekurangn peminat,” ujar Syamsul menyayangkan.

Syamsul menekankan bahwa, pengertian budaya tidak diartikan dalam batas kesenian belaka. Sejatinya, di dalam kebudayaan tersebut mengandung system of knowledge yang syarat akan ide, nilai dan sikap.

Syamsul juga mengingatkan bahwa kekuatan Muhammadiyah salah satunya adalah sifatnya yang religius reformis. “Saya menangkap uforia itu pada kader Muhammadiyah, karena tidak gampang mempertahankan dan memelihara Muhammadiyah hingga satu abad seperti ini” ungkap guru besar UMM tersebut. (arif)