Minggu, 04 Juli 2010

Gerakan 'Aisyiyah perangi kemiskinan



Diamati oleh 'Aisyiyah setelah hampir sepuluh tahun berjalan, Indonesia belum dapat memenuhi target MDGs, terutama pada sektor kesehatan, ekonomi, dan pendidikan. Selain itu, 'Aisyiyah juga memandang kurang adanya promosi tentang MDGs, padahal berbagai pihak di dunia mengamanatkan secara serius pentingnya keterlibatan organisasi perempuan untuk membangun kepedulian, solidaritas sosial serta dukungan publik untuk pencapaian komitmen MDGs. Hal-hal tersebut mendorong 'Aisyiyah untuk menyelenggarakan Seminar Internasional bertajuk “Gerakan Perempuan dalam Memerangi Kemiskinan untuk Mendorong Pencapaian MDGs di Negara-Negara Dunia Ketiga”.

Meskipun merupakan acara Pra-Muktamar, tetapi seminar yang digelar hari ini, Jumat (2 Juli 2010) di Borobudur Room Hotel Saphir, Yogyakarta ini diikuti oleh peserta dari berbagai negara dan berbagai daerah di Indonesia, seperti Jepang, Australia, Spanyol, Kamboja, Myanmar, Vietnam, Papua Nugini, Sudan, Namibia, Sinegal, Uganda, Madagaskar, Gambia, Kolombia, Solomon Islan, Nigeria, Banglades, Malaysia, Thailand, Norwegia, Thailand, Filipina, dan sebagainya. Mereka pun berasal dari sejumlah lembaga internasional seperti Ausaid, UNICEF, John Hopskin University, GTZ, IDB, IRE, Globethics.net, berbagai perguruan tinggi di Indonesia, serta pimpinan wilayah 'Aisyiyah dan Muhammadiyah seluruh Indonesia.


Dalam sambutannya, Ketua PP ‘Aisyiyah Prof. Dr. Hj. Siti Chamamah Soeratno mengatakan bahwa seminar itu diselenggarakan untuk memetakan problem dalam delapan isu kritis pencapaian MDGs, terutama persoalan perempuan di negara-negara dunia ketiga. Selain itu, seminar juga digelar untuk memetakan hambatan dan tantangan, kontribusi, dan strategi gerakan perempuan untuk memerangi kemiskinan dan menyukseskan MDGs, baik dalam level internasional maupun nasional. Chamamah berharap, dari seminar ini diperoleh strategi terbaik bagi organisasi perempuan dalam memerangi kemiskinan untuk pencapaian target MDGs Menurut guru besar UGM itu, kemiskinan dapat disebabkan oleh resesi ekonomi yang menghasilkan penurunan kesejahteraan, bencana, maupun konflik. Selain itu, terdapat juga kemiskinan dari pekerja bergaji rendah, maupun mereka yang tidak mendapatkan sistem dukungan dari keluarga, institusi sosial, dan jaminan sosial. Oleh karena itu, ‘Aisyiyah sebagai pergerakan perempuan muslim Indonesia memiliki visi organisasi untuk menangani persoalan tersebut.

Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menegaskan bahwa gerak Muhammadiyah-'Aisyiyah dan teologi Muhammadiyah sejalan dengan cita-cita MDGs. Pembebasan, pemberdayaan, dan pemajuan yang terdapat dalam era globalisasi, sejalan dengan Al-Maun. Globalisasi yang memungkinkan interaksi global membawa dampak kerusakan dunia yang akumulatif, termasuk dalam dunia Islam. Oleh karena itu, human right dan human responsibility pada dasarnya perlu dianggap sebagai new way of tajdid.

Sebagai keynote speaker, mantan Ketua Umum PP Muhamadiyah, Prof. Dr. Syafii Maarif menguraikan pikirannya tentang sikap pro kepada kaum miskin, tetapi anti kemiskinan (pro-poor but anti-poverty). Menurut guru besar UNY itu, Alquran membawa pesan-pesan kemiskinan sekaligus merupakan teks panduan bagi gerakan anti-kemiskinan. Pesan-pesan teologi itu sangat tinggi di atas langit, tetapi masyarakat muslim di bumi dalam keadaan tidak beruntung. Menurutnya, muslim terlalu lama melupakan ayat-ayat yang secara jelas mengusung keadilan sosial, ekonomi, dan politik. Dalam pandangannya, Islam datang untuk membebaskan manusia, tidak untuk membuat mereka menjadi budak. Akan tetapi, yang terjadi di dunia Islam selama berabad-abad adalah Muslim tidak hanya dikuasai oleh penjajah, tetapi juga moslem rules dan pemimpin yang “menjajah” dengan cara menggunakan postulat agama secara tidak tepat untuk mempertahankan status quo kekuasaan mereka, baik secara politis maupun spiritual. Syafii berpesan agar semua pihak memulai untuk bergerak ke arah perbaikan sistem pendidikan dan memusnahkan kemiskinan, tanpa menunggu perintah dan inisiatif dari orang lain karena perubahan harus datang dari kesadaran setiap individu.

Pada sesi pertama, Prof. Dr. dr. Nila F. Moeloek, Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs dan Ketua Medical Research Universitas Indonesia, menjelaskan mengenai pembangunan manusia berbasis gender. Menurutnya, konsep pembangunan perempuan Indonesia harus berwawasan dan berbasis pengetahuan. Oleh karena itu, harapan pencapaian pembangunan ini bertumpu di pundak perempuan yang berwawasan dan berpengetahuan dan dapat menciptakan iklim kondusif bagi generasi di masa yang akan datang. Setelah menguraikan analisisnya terhadap data HDI dan BPS yang menunjukkan bahwa kesehatan perempuan masih perlu diperjuangkan, terutama untuk yang bersifat preventif, misalnya sistem jaminan sosial sebelum perempuan sakit. Seorang perempuan harus dapat merencanakan keluarga, melakukan antenatal, memiliki akses pelayanan kesehatan, dan memperoleh perawatan post-natal.

Pembicara kedua, Associate Professor Dr. Rosalia Sciortino, Ph.D., Health Advisor AUSAID, menyatakan bahwa MDGs sebetulnya hanyalah indikator. Perempuan, menurutnya, menjadi rentan HIV karena karena ketidakdilan gender, bukan karena biologis. MDGs harus tetap diupayakan pencapaiannya karena kesehatan reproduksi belum semaju peningkatan di bidang ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Senada dengan Nila F. Moeloek, Rosalia juga berharap agar perempuan dapat mengambil keputusan dalam hal melahirkan dan kontrol fertilitas, serta seks yang aman. Rosalia yang menganggap gerakan untuk mencapai MDGs belum benar-benar nyata ini berharap agar 'Aisyiyah yang banyak memiliki ilmuwan ini dapat menganalisis kekuatan gender, mengumpulkan informasi di lapangan tentang keadaan perempuan dan kesehatan, serta mampu mengaitkan MDGs 3 dengan MDGs di bidang kesehatan.

Pada sesi kedua, Raquel Castillo, Coordinator of Thematic Working Group for Education for All and the Technical Working for Multilingual Education, menguraikan betapa tingginya kebutaaksaraan di negara-negara dunia ketiga khususnya, pada anak perempuan. Dikatakannya, tingkat kemiskinan dan kebutaaksaraan yang dialami oleh perempuan itu dapat menyebabkan tingginya tingkat pemukulan terhadap perempuan. Lebih jauh ia mengritik banyaknya pilot project 'Aisyiyah yang mungkin tidak cocok dilakukan di daerah karena setiap daerah memiliki problem yang berbeda.

Ketika Prof. Dr. Siti Chamamah Soeratno berbicara kembali pada sesi ini, ia mengungkapkan bahwa MDGs adalah nama baru untuk ‘Aisyiyah karena hal-hal yang terdapat dalam 8 capaian MDGs sejak lama telah dilakukan oleh 'Aisyiyah. Chamamah pun menguraikan sejumlah program dan pencapaian 'Aisyiyah tersebut. Gerakan ini merupakan gerakan mandiri 'Aisyiyah hingga akar rumput yang telah mendarah daging dan akan terus dilakukan oleh 'Aisyiyah, dengan atau tanpa gerakan lain di dunia. Dalam memasuki perjuangan pada abad yang kedua, 'Aisyiyah berharap agar sinergi dalam menyejahterakan masyarakat dan memerangi kemiskinan dapat lebih luas dengan semua komponen yang bergerak di bidang MDGs.