Kamis, 01 Juli 2010

Warga Belum Ramah terhadap Warga Miskin


Oleh : Zulnaidi

Seorang ibu muda duduk bersimpuh. Di depannya terbaring seorang anak lelakinya yang sudah 13 tahun lumpuh layu. Sesekali, sang ibu memberikan minuman air putih dengan sendok ke mulut anak sulungnya.

Sebagai seorang ibu, Susi Siahaan (35) penduduk Jalan Pelita IV, Gang Pos 3, berharap anaknya, Binsar Mikhael Immanuel (13), punya masa depan yang cerah. Tapi, harapan itu pupus. Karena anaknya menderita lumpuh layu sejak 13 tahun lalu.

Harapan itu dibuang jauh. Tapi, sebagai seorang wanita asli Sumatera Utara, dia tetap bersikukuh memelihara anaknya. Kalaupun tak ada masa depan, paling tidak dia bisa merawat sebaik mungkin anak tersebut.


Dia sebagai orangtua tunggal. Suaminya, tak sabar karena mendapat anak lumpuh dan akhirnya pergi entah kemana. "Tak lama anak kedua saya lahir, suami pergi. Kini saya orangtua tunggal," ungkap Susi saat ditemui di kediamannya, Rabu (30/6) sore.

Bersama dua anaknya, Binsar dan Natalia (8,5) kelas empat SD, Susi menyewa rumah. Per bulan, dia harus mengeluarkan uang sewa Rp200 ribu. "Ini paling murah, karena tetangga saya baik. Tempat lain sudah tak ada lagi," katanya.

Dia menghidupi keluarga dengan penghasilan dari berdagang di pasar. Berarti tiap hari juga dia harus meninggal Binsar di rumah. Terkadang, kalau Binsar sakit, dia terpaksa pulang sebentar untuk memberikan obat dan pergi lagi berjualan.

Selama 13 tahun pula, Binsar tidak pernah dibawa berobat ke rumah sakit. Pada 26 Juni 2010 lalu, Binsar sakit keras. Tubuhnya panas dan kejang-kejang.

Melihat anaknya sakit, Susi panik. Stok uangnya cuma ada Rp300 ribu. Dengan bermodalkan surat keterangan Lurah Sidorame Barat II yang menyatakan Binsar termasuk daftar nama yang diusulkan sebagai peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Medan Sehat (JPKMS), dia membawa Binsar ke RSUD dr Pirngadi Medan.

Bisnar ditangani petugas medis di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Saat itu, dia mencoba menunjukkan surat keterangan lurah tersebut. Tapi, setelah dicek di data peserta JPKMS, ternyata namanya ada tapi tidak ada nomor registrasi. Sehingga, anaknya tidak bisa dikategorikan peserta JPKMS.

"Petugas menyarankan saya mengurus surat dana talangan dari Pemprovsu. Di UGD saya membayar bon gantung Rp38 ribu," ucapnya.

Selanjutnya, Binsar dibawa ke ruangan rawat inap kelas tiga untuk opname.

"Di sana, saya ditanya perawat, bahwa Binsar pasien umum atau Jamkesmas. Saya jawab, saya akan urus dana talangan kesehatan Pemprovsu. Saat itu juga dengan tegas perawat menyatakan, sudah tidak ada lagi dana talangan. Medan Sehat juga sudah habis," jelas Susi.

Mendapat jawab itu, Susi ibarat disambar petir. Itu berarti, harapan berobat gratis untuk anaknya pupus. "Sebagai pasien umum, saya tak sanggup. Jadi, saya minta anak saya dibawa pulang saja," ungkapnya.

Karena sudah terlanjur dirawat, jelas Susi, akhirnya dia tak diberi pulang dulu. Besoknya, dia pulang dan membayar Rp161 ribu. Padahal, saat itu kondisi kesehatan Binsar masih labil. Suhu badannya masih tinggi.

"Saat itu, saya disodorkan perawat selembar surat pernyataan bahwa saya memang ingin membawa pulang sehingga kalau terjadi apa apa dengan anak saya, mereka lepas dari tanggungjawab," ucap Susi lagi.

Dia merasa kecewa. Walau dia harus berjuang merawat anaknya selama ini, bukan jadi persoalan. Tapi, begitu tak ada kesempatan untuk membawa anaknya berobat, hatinya menjadi teriris-iris.

Padahal, dia seorang pemegang kartu Jamkesmas. Sedangkan anaknya, mendapat bantuan dana jaminan sosial penyandang cacat berat yang nota benenya bisa dimanfaatkan untuk rekomendasi berobat gratis.

Sebenarnya, persoalannya simpel. Sedikit saja ada kepedulian dari petugas kesehatan, masalahnya selesai. Paling tidak, ada kepedulian bagaimana harusnya Susi bisa menangani anaknya. Apa saja yang harus dilakukannya agar anaknya bisa memanfaatkan fasilitas yang ada dari pemerintah untuk pelayanan kesehatan. Tapi, masalah kesehatan anaknya harus dirawat dulu.

Jika ditanya petugas kesehatan, jawabannya sekadar alasan pembenaran, yakni administrasi. Karena kalau tidak, akan diperiksa BPK, KPK, dan lain sebagainya. Tapi, kalau ditanyakan apa benar memang KPK, BPK akan memeriksa soal administrasi seperti itu. Apa ada kasus pejabat masuk penjara karena membela rakyat kecil.

Kalaupun ada, rakyat tidak ada menutup mata. Paling tidak, doa rakyat kecil tetap mengalir. Di sisi lain, kepedulian terkalahkan dengan alasan birokrasi. Sehingga pejabat lebih senang lomba nyanyi, masak dan merias sambil tutup mata menyambut HUT Kota Medan ketimbang mengurus masyarakat lemah. Harusnya, semakin tua Kota Medan, pejabatnya makin mantap kepedulian. Semoga!.